TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengakui, praktek pungli dan gratifikasi masih terjadi di Kantor Urusan Agama yang melayani nikah dan rujuk. Karenanya, pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang penerimaan negara bukan pajak di Departemen Agama masih tersendat. "Tak akan ada pengawasan yang mengancam dan menakuti penghulu atau petugas KAU meski KPK mengkategorikan gratifikasi," kata Lukman Hakim di Jakarta, Kamis, 25 Juni 2015.
Menurut Lukman, perlu adanya penanaman pemahaman yang menyeluruh dalam masyarakat agar menghentikan tradisi pemberian uang atau barang dalam pelaksanaan pernikahan dan rujuk.
Meski telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 24 Tahun 2014 tentang biaya nikah dan rujuk, toh masih terjadi pemberian uang dari pasangan kepada penghulu. Atas situasi ini, hari ini, Lukman bersama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan KPK menggelar rapat koordinasi untuk membentuk sistem yang dapat mengurangi atau menghilangkan praktek gratifikasi nikah atau rujuk.
Menurut Lukman, kementeriannya telah membuat Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKah) yang menampung seluruh data calon pasangan yang hendak nikah atau rujuk. Tak hanya data pribadi, sistem ini terintegrasi dengan seluruh KUA, termasuk soal nama penghulu, lokasi, dan waktu pelaksanaan nikah atau rujuk.
SIMKah diklaim akan disinkronisasikan dengan data kependudukan di Kementerian Dalam Negeri. Hal ini akan menjadi sistem komprehensif pendataan warga negara yang berfungsi untuk mencegah kejahatan berkaitan dengan pernikahan, seperti pemalsuan identitas saat nikah kedua.
Soal uang, Kementerian Agama mengklaim akan terus melakukan sosialisasi atas PP 47 dan PMA 24 yang tegas menyatakan pernikahan atau rujuk yang dilakukan pada jam kerja dan berlokasi di KUA tak dipungut biaya atau gratis. Sedangkan pelaksanaan di luar jam kerja dan di luar KUA dikenakan biaya Rp 600 ribu yang langsung dibayar melalui bank ke Bendahara PNBP Kementerian Agama.
"Nyatanya, saat ini masih ada masyarakat yang membayar lebih dari Rp 600 ribu. Masyarakat harus tahu itu gratifikasi," kata Lukman.
Penghulu yang adalah pegawai negeri sipil sama sekali tak boleh menerima uang, barang, atau makanan dalam pelayanan nikah atau rujuk. Seluruh biaya yang diatur harus dibayarkan sendiri pasangan ke Kementerian Agama. Tak boleh lagi ada pembayaran lebih dan kepada petugas.
Menurut Lukman, memang masih banyak masalah lain yang menyebabkan penghulu menerima uang dari pasangan. Salah satunya mekanisme pencairan PNBP untuk uang transpor bagi penghulu yang bekerja di luar jam kerja dan di luar KUA. Penghulu seolah dikondisikan menerima uang dari pasangan.
"Tadi sudah dibicarakan teknisnya supaya pencairan yang tadinya enam bulan bisa cuma satu bulan," kata Ruki.
FRANSISCO ROSARIANS