TEMPO.CO, Jakarta - Patung berbahan tanah liat berjudul Pluralisme, yang dipamerkan dalam Biennale Terracota karya seniman Noor Ibrahim memikat kolektor. Karya itu berobyek Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Presiden keempat Indonesia itu digambarkan sedang menengadahkan dua tangan seperti gerakan orang berdoa. Ia berpeci dan mengenakan setelan jas menutupi perutnya yang buncit. Gus Dur duduk di atas bola bergambar peta dunia.
Noor Ibrahim mengatakan tertarik membuat patung berfigur Gus Dur sebagai tokoh yang kuat dengan ide-ide keberagaman. Pikiran Gus Dur tentang toleransi membuat orang dari bermacam etnis dan budaya bisa hidup berdampingan. “Ini cocok dengan tema pameran yang mengajak orang untuk menengok akar budaya Nusantara,” kata Noor Ibrahim, Ahad, 28 Juni 2015.
Patung itu dibeli kolektor dari Jakarta dengan harga Rp 45 juta. Noor Ibrahim yang juga penggagas Biennale Terracotta menciptakan karyanya itu selama lima bulan. Dia menggarap karya pada awal persiapan pameran di studionya di Gesik, Kalipucang, Kasongan. Selain karya Noor Ibrahim, patung ciptaan enam seniman lainnya juga telah terjual. Patung itu di antaranya karya Ismanto, Anik, dan Mesdi.
Seniman Ismanto Wahyudi membuat puluhan patung berobyek gramofon yang duduk di atas tank-tank perang. Kumpulan tank dan gramofon itu dipajang indah di atas bata, membentuk lingkaran. Patung itu punya pesan anti-kekerasan. “Saya ingin tampilkan harmoni musik untuk perdamaian dunia,” kata Ismanto.
Biennale Terracotta 2015 bertajuk Art on the River melibatkan 70 seniman Indonesia dan mancanegara. Patung-patung karya seniman dipajang di pekarangan perupa Djoko Pekik di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tak hanya memajang karya di lahan milik Pekik, perhelatan seni yang akan digelar setiap dua tahun itu juga memamerkan 30 artefak periode Kerajaan Majapahit abad ke-14 di Pintu Miring Artspace, Gesik RT 03, Kalipucang, Kasongan, Bantul.
Grand opening Biennale Terracotta berlangsung pada Minggu malam, 7 Juni 2015, di pelataran rumah Pekik. Pameran akan ditutup pada 7 Juli 2015 dengan acara malam sastra terra dan launching buku berjudul The 1st Biennale Terracotta di rumah Pekik. Sastrawan yang akan membaca puisi di antaranya Joko Pinurbo dan Sasmita Wulandari.
Semula konsep awal pameran adalah memajang karya seniman sejauh satu kilometer di tepian Sungai Bedog, Kasongan. Dengan begitu, pengunjung bisa menikmati karya seni sembari menyusuri sungai menggunakan perahu yang didesain khusus. Tapi, konsep ini tidak jadi dijalankan karena mempertimbangkan keselamatan pengunjung.
Sejarah Indonesia yang kaya akan budaya dan seni terakota menginspirasi Biennale Terracotta. Pameran itu merupakan wujud kegelisahan pada terakota, yang selama ini hanya menjadi bahan dekoratif di Kasongan. Gerabah kerap dianggap sebagai benda yang rapuh. Ini membuat bahan itu kalah pamor dengan perunggu dan besi. Padahal, terakota berbahan tanah liat punya nilai visual yang artistik dan tahan terhadap panas.
SHINTA MAHARANI