TEMPO.CO, Brebes - Kiai Subhan menahan tawa saat berbicara tentang pembacaan Al-Quran berlanggam Jawa, yang beberapa waktu lalu sempat menimbulkan kontroversi di kalangan para ulama. “Yang semestinya diributkan itu baca Al-Quran yang tidak ikhlas,” kata pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyah, Desa Luwungragi, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, itu pada Kamis lalu.
Membaca Al-Quran tidak ikhlas itu, kata Subhan, adalah membaca tapi mengharapkan imbalan uang atau memenangi lomba di acara televisi. Subhan tidak sekadar mengumbar pernyataan demi popularitas. Kiai 59 tahun yang mengasuh ribuan santri dari berbagai daerah ini memang dikenal sebagai ulama gratisan.
Ihwal pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa, menurut Subhan, tidak ada masalah. “Selama tidak menabrak aturan tajwid, itu sah-sah saja,” katanya. Upaya “menjawakan” Al-Quran sudah terjadi sejak awal abad ke-20. Pelopornya tak lain adalah Raden Ajeng Kartini, anak Bupati Jepara, pada akhir abad ke-19. Kartini adalah salah satu murid Kiai Sholeh Darat di Semarang.
Karena kesulitan mempelajari agama Islam dengan bahasa Arab, Subhan menceritakan, Kartini meminta Kiai Sholeh Darat menafsirkan Al-Quran menggunakan bahasa Jawa. “Penafsiran Al-Quran dengan bahasa Jawa ini juga mengilhami Kartini menulis Habis Gelap Terbitlah Terang,” ucapnya.
Subhan mencontohkan, Al-Quran langgam Jawa itu misalnya kata bismillah menjadi kelawan nyebut namane Allah (dengan menyebut nama Allah). Arrohman menjadi ingkang welas asih (yang maha pengasih). “Al-Quran itu bisa dipahami dengan bahasa apa saja,” ujarnya.
Dituturkan Subhan, semasa kecil dia juga diajari Kiai Sanusi asal Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menggunakan syair-syair Jawa. Syair tersebut digubah dari kitab-kitab kuning tentang fikih yang aslinya ditulis dengan bahasa Arab “gundul” (tanpa harakat). Sampai kini dia masih terngiang-ngiang ajaran Kiai Sanusi. Menurut dia, belajar agama tidak melulu harus dengan bahasa Arab atau mengaji dengan langgam gaya Mesir atau Turki.
DINDA LEO LISTY