TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen Myanmar menyetujui undang-undang yang melarang pernikahan beda agama di negara yang didominasi penganut Buddha tersebut. Kaum oposisi mengkritik keputusan yang mereka anggap bentuk diskriminasi terhadap wanita dan penganut agama Islam tersebut.
Dalam undang-undang itu disebutkan wanita Budha dan pria dari agama lain yang ingin menikah harus melapor ke pejabat lokal yang berwenang. Setelah itu, pertunangan mereka akan diumumkan ke publik, dan pasangan tadi bisa menikah jika tidak ada yang keberatan. Namun, jika melanggar aturan tersebut, pasangan itu bisa dipenjara.
Undang-undang itu tidak menempatkan semua orang dalam kesetaraan berdasarkan standar hak asasi yang berlaku di Myanmar dan internasional. Hal itu merupakan kritik utama dalam aturan ini.
"Aturan seperti ini seharusnya tidak diloloskan parlemen karena bukan aturan yang esensial untuk semua etnis di Myanmar. Ini hanya hukum yang mendiskriminasi agama-agama tertentu," ucap Zar Talam, keturunan etnis Cina yang merupakan anggota parlemen dari Htantlang, Negara Bagian Chin, Myanmar barat.
Bertolak belakang dengan yang dituduhkan, para pendukung undang-undang tersebut beralasan, ini akan melindungi wanita Buddha yang menikah di luar kepercayaannya.
"Aturan ini dibuat untuk wanita Buddha Myanmar yang ingin menikahi pria dari agama lain, sehingga mereka punya hak yang sama dalam pernikahan, perceraian, warisan, dan hak asuh anak,sebagai perlindungan yang efektif," ujar Saw Hla Tun, anggota parlemen Komisi Penyusun Hukum.
Aturan ini adalah bagian dari empat undang-undang yang sedang dibuat, yaitu soal pernikahan, agama, poligami, dan perencanaan keluarga. Undang-undang tersebut diajukan organisasi Buddha bernama Asosiasi Perlindungan Ras dan Agama yang berafiliasi dengan kelompok biksu Buddha nasionalis.
Organisasi pemberdayaan wanita dan masyarakat sipil yang menentang berpendapat, rancangan undang-undang itu tidak mengakui hak bertahan hidup dan memilih kaum wanita yang sudah melekat sejak lahir.
"Kami percaya aktivitas politik berlatar belakang kepercayaan termasuk argumen yang menentang pernikahan antaragama seperti sekarang tidak bertujuan menciptakan perdamaian antar-pemeluk kepercayaan ataupun mencegah kekerasan dan konflik, tapi mengalihkan perhatian publik terhadap pemilihan 2015 mendatang."
Walaupun peraturan itu tidak menyebut suatu agama secara spesifik, ada dugaan hukum itu dibuat dengan tujuan mencegah muslim memaksa wanita Buddha meninggalkan kepercayaannya dan sebaliknya.
Tahun lalu, Komisi Internasional Kebebasan Beragama Amerika Serikat dan Human Rights Watch mengutuk empat draf undang-undang tersebut dan mengatakan mereka mendiskriminasi kaum non-Buddha yang ingin berpindah agama, menikah, dan melahirkan, yang bisa berujung represi dan kekerasan terhadap muslim dan agama minoritas lain.
RADIO FREE ASIA | BINTORO AGUNG S.