TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik Komisi Pemilihan Umum yang mengizinkan rekomendasi ganda dalam pencalonan kepala daerah. Rekomendasi ganda dinilai melegitimasi partai untuk terpecah belah.
"Sikap KPU ini sangat tidak konsisten dengan pendirian KPU sebelumnya yang tetap ingin ada hasil pengadilan in kracht untuk partai berkonflik," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dalam keterangan tertulisnya, Senin, 13 Juli 2015.
KPU, ucap Titi, terlihat ingin menjadi penengah partai-partai yang terbelah. Padahal hal itu sesungguhnya bukan tugas dan fungsi KPU. "Ini justru menyimpan potensi konflik dalam pelaksanaannya dan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi," ujarnya.
Sebelumnya, dalam rapat konsultasi antara Badan Pengawas Pemilu, DPR, dan Kementerian Dalam Negeri, KPU mengusulkan rekomendasi ganda untuk pencalonan kepala daerah dari partai berkonflik. Dua kepengurusan di Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golongan Karya bakal memiliki lembar tanda tangan masing-masing dalam surat rekomendasi.
Bila nantinya ada keputusan pengadilan yang final dan mengikat, KPU tinggal mencabut halaman tanda tangan kubu yang kalah. Usul ini disepakati DPR dengan syarat dua kubu partai sengketa mengajukan satu calon yang sama.
Bila usul itu disepakati semua pihak, termasuk pemerintah dan pimpinan partai politik, KPU bakal merevisi Pasal 36 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Mekanisme Pencalonan Kepala Daerah. "Kalau memang gagasan tersebut jadi diterapkan, perkiraan kami, diperlukan penambahan ayat pada pasal tersebut," ucap Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, Jumat pekan lalu.
Namun rencana ini bakal terganjal lantaran peraturan KPU tersebut sedang digugat kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono ke Mahkamah Agung. "KPU enggak bisa seenaknya mengubah aturan itu karena sedang digugat di MA," ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bidang Hukum dan HAM Partai Golkar kubu Agung Laksono, Lawrence Siburian, kemarin.
Aturan yang diuji adalah Pasal 36 ayat (2) dan (3) Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 yang berisi ketentuan yang mengakomodasi partai bersengketa dengan menunggu pengakuan putusan hukum tetap atau lewat islah. "Aturan ini melampaui kewenangan PKPU, karena tidak ada dasar hukumnya dalam undang-undang," ucap Lawrence.
Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Kamis pekan lalu, yang mengabulkan upaya banding Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menguatkan posisi kubu Agung Laksono sebagai pengurus yang sah. Meski telah dua kali meneken islah, mereka beranggapan bahwa penandatanganan rekomendasi harus merujuk pada ketentuan, yakni pengurus yang mendapat pengesahan Kementerian Hukum.
INDRI MAULIDAR | AGOENG WIJAYA