TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia memastikan kondisi perekonomian nasional saat ini jauh dari kondisi ketika Indonesia dilanda krisis moneter pada 1998. Kendati rata-rata nilai tukar rupiah pada semester pertama tahun ini mendekati angka 13 ribu per dolar AS, indikator ekonomi lainnya menunjukkan fundamental yang sangat berbeda.
“Waspada harus, tapi tak perlu panik. Situasinya sekarang jauh lebih baik,” kata Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo saat buka puasa bersama para pemimpin media massa di kantornya, Senin, 13 Juli 2015. “Kalau ada yang membandingkan keadaan sekarang hanya karena kurs yang mendekati nilai pada 1998 di sekitar 15 ribu per dolar, itu sama sekali tidak sama.”
Menurut Agus, rendahnya nilai tukar rupiah atau mata uang suatu negara tak serta-merta menunjukkan lemahnya ekonomi. Ia menyebutkan beberapa negara, seperti Jepang dan Korea Selatan, yang dengan sengaja menurunkan kurs mata uang mereka agar produk-produk ekspornya mampu bersaing dan tak kehilangan pasar. Begitu pula dengan negara-negara di Eropa.
“Mereka itu negara dengan ekonomi kuat,” ujar Agus. “Dengan situasi global yang belum menentu, sejak 2013, kami memang mendesain kebijakan yang menetapkan bahwa kekuatan ekonomi jauh lebih penting ketimbang mengejar pertumbuhan tinggi.”
Bersama pemerintah, Agus melanjutkan, Bank Indonesia sepakat bahwa neraca berjalan yang beberapa waktu lalu sempat negatif adalah sasaran paling penting yang perlu diperbaiki. Kecenderungan impor yang terus meningkat harus direm di tengah menurunnya ekspor dan permintaan pasar yang melemah.
“Kebijakan itu dijalankan dengan terus menaikkan tingkat suku bunga dan menjaga nilai tukar agar tidak terlalu kuat. Nilai tukar rupiah saat ini sudah mencerminkan ekonomi Indonesia,” tutur Agus. Untuk menjaga agar nilai itu tidak berfluktuasi tanpa kendali dan akhirnya merepotkan pelaku ekonomi, Bank Indonesia selalu ada di pasar.
“Makanya, kalau ada yang tanya, kenapa cadangan devisa menurun, ya, karena memang kami harus melakukan stabilisasi,” tutur Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara. “Posisi terakhir cadangan devisa kita akhir Juni lalu US$ 108 miliar. Jumlah itu masih cukup aman karena itu setara dengan enam bulan lebih pembiayaan impor kita.”
TOMI ARYANTO