Kisah Pemudik Sepeda Motor yang Menantang Maut

Seorang balita tidur tidur saat dibawa orangtuanya mudik dengan sepeda motor di Pelabuhan Merak, Banten, 15 Juli 2015. Banyak pasangan muda membawa balita mudik ke kota-kota di Pulau Sumatera. Dasril Roszandi/Anadolu Agency/Getty Images
Seorang balita tidur tidur saat dibawa orangtuanya mudik dengan sepeda motor di Pelabuhan Merak, Banten, 15 Juli 2015. Banyak pasangan muda membawa balita mudik ke kota-kota di Pulau Sumatera. Dasril Roszandi/Anadolu Agency/Getty Images

TEMPO.CO, Brebes – Naik motor bergerombol, mengenakan jaket kulit tebal, sepatu dan sarung tangan tak lupa membungkus kaki dan tangan. Biasanya penampakan sepeda motor sudah sedikit dimodifikasi. Sepasang tongkat kayu panjang semeter diikat pada besi di ekor jok.

Sepeda motor tampilan ini akan tampak menyemut sepanjang Jalur Pantura saat arus mudik. Ciri khas lainnya: motor yang dikendarai tampak kelebihan beban. Tas yang jumlahnya hingga empat buah ditumpuk di depan dan diikat pada penyangga tongkat kayu yang sudah dibuat di belakang jok. Itulah penampakan pemudik motor.

Salah satunya Suci Imam, 44 tahun. Pemudik motor tujuan Pemalang ini harus membawa tiga barang: satu tas punggung, satu tas selempang, dan bungkusan hijau sebesar karung beras 50 kilogram yang dia ikat di jok motor. Akunya, bungkusan hijau itu berisi oleh-oleh untuk keluarga di kampung halaman. “Pakai motor murah meriah dan lebih cepat,” kata Suci saat rehat di musala Jalan Wahidin Sudirohusodo, Brebes, Jawa Tengah, Rabu, 15 Juli 2015.

Dia cuma tersenyum kecut saat ditanya soal bahayanya mudik mengendarai motor yang membawa beban berlebihan. Suci berdalih, “Yang penting saya ekstra waspada.”

Tak terhitung sudah berapa kali Suci harus beristirahat sejak berangkat dari Jakarta pada pukul 10.00 malam Selasa lalu. Patokannya, dia menambahkan, bila kantuk terasa, maka itulah waktu yang tepat untuk istirahat. Bahkan, telapak tangan dan jari Suci sampai melepuh karena harus memainkan putaran gas dan tuas rem secara bergantian. “Ha-ha-ha..., risiko perjalanan,” ujarnya sambil cengar-cengir memamerkan telapak tangannya.

Setali tiga uang dengan Iqbal Alamsyah. Remaja asal Tegal ini bahkan tak berbekal Surat Izin Mengemudi selama perjalanan dari Tanah Abang, Jakarta hingga Brebes. “Belum mengurus,” kata dia.

Toh, mengendarai sepeda motor via Jalur Pantura saat mudik tak menciutkan nyali pria 19 tahun itu meski tak berbekal SIM. Padahal, dia harus bersaing dengan mobil dan bus yang badan kendaraannya jauh lebih besar. Bahkan, Iqbal mengaku tak segan melintas naik ke trotoar demi keluar dari kemacetan. “Yang penting saya sudah memakai helm dan kaca spion lengkap,” kata dia.

RAYMUNDUS RIKANG