TEMPO.CO, Jakarta - Konflik di Karubaga, Tolikara, Papua, memicu perdebatan publik tentang hubungan sosial umat Islam dengan Kristen di sana. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, mengatakan masyarakat telanjur menilai Tolikara sebagai pusat konflik antar-umat agama. Padahal sebelumnya tak pernah ada gesekan antara umat Islam dan Kristen di Tolikara.
"Dari dulu hubungan muslim dan Kristen baik-baik saja. Musala tidak pernah diganggu, toleransi baik-baik saja, tapi kondisi ini dirusak oleh kejadian kemarin," kata Pigai saat dihubungi, Senin, 20 Juli 2015.
Kaburaga awalnya hanya distrik kecil. Namun, pada 2002, Tolikara dimekarkan menjadi kabupaten dengan kota utama Kaburaga. Sementara itu, jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) sudah mendiami Kaburaga jauh sebelum itu. GIDI masuk ke Wamena pada 22 Januari 1955 dan menyebar ke Bogo pada 1962. Setelah itu, persebarannya meluas ke Pegunungan Tengah Papua. Jemaat GIDI akhirnya menjadi mayoritas di Tolikara.
Menurut Pigai, di sisi lain, wilayah Tolikara sangat sulit dijangkau akses Internet dan transportasi. "Tolikara bukan tempat tujuan orang, sehingga jarang ada pendatang. Karena wilayah ini bukan pusat pemerintahan dan perekonomian," kata Pigai.
Pigai mencurigai konflik yang terjadi di Tolikara pada saat perayaan Idul Fitri, Jumat, 17 Juli 2015, didalangi aktor-aktor tertentu. Mereka, kata Pigai, sengaja menciptakan ketidakharmonisan di Tolikara lewat penyebaran surat edaran berisi larangan beribadah yang diteken sinode GIDI, hingga terjadi penembakan yang dilakukan aparat kepolisian.
"Ada intoleransi dan kekerasan aparat. Itulah yang harus diproses secara hukum," kata Pigai.
Presiden GIDI Pendeta Dorman Wandikmbo membantah tudingan bahwa jemaat GIDI Tolikara tak memberikan kebebasan menjalankan ibadah bagi umat beragama lain. Ia menyebutkan adanya musala--yang kemudian terbakar dalam insiden ini--di Tolikara sebagai contoh hubungan umat Islam dengan Kristen yang telah terjalin baik.
"Musala itu telah berdiri selama 30 tahun. Jika memang kami tidak toleran, sedari awal tidak mungkin ada musala itu di situ," kata Dorman saat dihubungi, Sabtu, 18 Juli 2015.
PUTRI ADITYOWATI | DINI PRAMITA