TEMPO.CO, Jayapura - Empat hari pasca-kerusuhan Tolikara, Kepolisian Daerah Papua menyatakan telah memeriksa 31 saksi terkait dengan kerusuhan pada hari raya Idul Fitri, Jumat, 17 Juli 2015. "Dari 31 orang, 22 orang di antaranya warga sipil dan sembilan orang aparat keamanan. Terus masih ada lima orang saksi menunggu diperiksa," kata Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Patrige, Selasa, 21 Juli 2015.
Menurut Patrige, ada empat hal yang menjadi fokus kepolisian dalam kasus kerusuhan Tolikara, yakni penghasutan dan penyerangan, perusakan, pembakaran, serta penembakan atau dugaan penyalahgunaan senjata api terhadap para pelaku kerusuhan Tolikara. "Dalam penyidikan di Karubaga, polisi diperbantukan dari penyidik Polda Papua. Tim Laboratorium Forensik Mabes Polri juga telah melakukan olah tempat kejadian perkara dan langsung membersihkan lokasi pembakaran," katanya.
Menurut Patrige, menurut hasil pemeriksaan sementara, para saksi menyebutkan massa tak membakar tempat ibadah secara langsung. Tapi bagunan itu terbakar bersamaan dengan bangunan kios yang berada di sekelilingnya. “Api merembet dan membakar musala yang kebetulan berdekatan dengan bangunan kios yang dibakar. Saat pembakaran ini, musala dalam keadaan kosong. Sebab saat itu sedang melaksanakan salat Idul Fitri di halaman Koramil 1702/WMS,” katanya.
Patrige juga mengatakan pihaknya berharap dalam dua hari ke depan pendekatan yang dilakukan Dandim, Kapolres, dan Bupati Tolikara dapat membantu mempercepat penyelidikan dan penyidikan. "Kami juga berharap mereka yang tak mengetahui kejadian di Tolikara tak menyulut kasus Tolikara berkembang ke arah lainnya. Kepada masyarakat luas, kami berharap apabila tak mengetahui secara jelas kasus di Tolikara, tak memberikan komentar berlebihan yang bisa memicu konflik lain nantinya,” katanya.
Staf Khusus Presiden untuk Papua Lenis Kogoya, yang turun langsung ke lokasi kejadian di Karubaga, telah memiliki sejumlah dokumen yang akan diserahkan dan dilaporkan langsung kepada Presiden Joko Widodo. "Ada aktor intelektualnya. Saya sudah kantongi siapa dalangnya, baik dari pihak gereja, aparat keamanan, maupun pemerintah daerah. Pelakunya harus diproses hukum. Jika mereka yang punya kewenangan di daerah itu tak mampu, bisa mundur dari jabatannya,” katanya, Selasa, 21 Juli 2015.
Menurut Lenis, kasus penyerangan pemeluk agama lain yang sedang beribadah ini merupakan kasus pertama di Papua. "Sebab selama ini, bahkan sejak Papua bergabung dengan Indonesia, tak pernah ada konflik antar-umat agama. Pihaknya meminta kepada semua pihak tak menggiring kasus kerusuhan Tolikara ke masalah suku, agama, ras, dan antar-agama.
Lenis juga mengatakan masyarakat Papua selalu menghargai siapa pun yang beribadah sesuai dengan keyakinannya. "Kerusuhan di Tolikara ini sangat aneh. Sebab selama ini Papua selalu menjadi contoh kerukunan umat beragama bagi wilayah Indonesia di mana pun. Kasus Tolikara bukan cerminan budaya dan adat istiadat bagi masyarakat asli di Papua.”
Selama ini, kata Lenis, biasanya kasus yang terjadi di Papua adalah perang suku, dan bukan konflik antar-umat agama. "Di dalam perang suku pun, siapa pun yang bertikai, selalu menghormati umat yang sedang beribadah dengan keyakinannya masing-masing," ucapnya.
Menurut dia, saat terjadi perang suku, warga pendatang atau siapa pun yang sedang beribadah selalu tak pernah terkena imbas perang itu. Begitu pun tempat ibadah di mana pun bangunan itu berada. "Sebab budaya kami adalah menghormati siapa pun yang beribadah dengan keyakinannya masing-masing," tuturnya.
CUNDING LEVI