TEMPO.CO, Jakarta - Kesepakatan damai Amerika Serikat dan Iran yang disusul dengan pencabutan embargo atas Iran berpotensi besar menurunkan harga minyak dunia. Namun, ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, menilai harga bahan bakar minyak di Indonesia tak bisa semerta-merta turun.
“Memang seharusnya harga BBM yang tak disubsidi lagi, naik-turun mengikuti harga minyak dunia terkini,” ujar Lana ketika dihubungi, Rabu, 22 Juli 2015. Namun, kata dia, Pertamina memiliki pertimbangan lain ihwal biaya operasional dan perannya dalam stabilisasi harga.
Lana lalu mencontohkan peran Pertamina dalam mempertahankan harga BBM, meskipun harga minyak dunia mengalami kenaikan sejak tiga bulan sebelum Lebaran. Risikonya, keuangan Pertamina tentu menanggung fluktuasi harga tersebut.
“Entah ada intervensi pemerintah atau tidak, tapi jika harga BBM naik, tentu akan berdampak lebih besar bagi rakyat,” ujar dia. Sedangkan momen turunnya harga, akan dimanfaatkan Pertamina menutupi kerugian dengan mempertahankan harga.
Lana juga mengatakan turunnya harga minyak di angka US$ 50 per barel saat ini sebenarnya baru sekadar penurunan harga karena sentimen. Penurunan riil baru bisa terjadi jika kuota produksi minyak Iran sudah normal kembali, dari 500 ribu barel per hari, menjadi 2 juta barel per hari. “Butuh waktu. Minimal triwulan keempat baru kelihatan tanda-tandanya,” ujar Lana.
Lana mengatakan, turunnya minyak dunia bagai buah simalakama bagi negara. Di satu sisi harga BBM yang turun akan sangat membantu mendongkrak daya beli masyarakat, sementara di sisi lain, penerimaan negara akan semakin tergerus karena semakin turunnya harga komoditas dan royalti ekspor.
ANDI RUSLI