TEMPO.CO, Jakarta - Musim panas yang menyengat di Korea Utara membuat pemerintah Pyongyang memberlakukan kebijakan baru. Puncak musim panas, yang dikenal sebagai Sambok, mulai 20 Juli diawali dengan sebuah pengumuman baru: pegawai negeri, pabrik-pabrik, dan anak-anak sekolah diminta masuk pada pukul 05.00 untuk menghindari panas matahari.
"Seluruh badan pemerintah pusat di Pyongyang dan kantor-kantor lain serta sekolah di seluruh negeri diperintahkan mengikuti jadwal Sambok," tutur sebuah sumber di Pyongyang, seperti dilansir The Guardian, kemarin. "Karena itu, seluruh kegiatan sekarang dimulai pada pukul 05.00, bukan pukul 08.00 seperti biasanya, dan berakhir pada pukul 13.00."
Sambok berlangsung selama sebulan. Biasanya, pada hari pertama, pertengahan, dan hari terakhir, momen tersebut dirayakan dengan jamuan makan khusus. Sambok berasal dari kata “sam”, yang artinya “tiga”, dan “bok”, yang artinya “menundukkan wajah karena udara sangat panas sehingga kodok pun tak tahan”.
Pada musim panas, suhu rata-rata di Pyongyang mencapai 29 derajat Celsius. Namun, pada hari terpanas, suhu bisa mencapai 40 derajat Celsius. Menurut World Weather and Climate, kadar kelembapan udara 80 persen dianggap cukup normal sepanjang Juli hingga Agustus.
Pemberlakuan jam kerja lebih awal pada musim panas pertama kali diterapkan pada masa pemerintahan Kim Jong-il. Meski kantor-kantor pemerintah, partai, dan perusahaan dilengkapi dengan pendingin udara, musim kemarau membuat produksi listrik menurun. Bahkan menyalakan sebuah kipas angin pun hampir tidak mungkin.
Jadwal Sambok menyebabkan berbagai kesulitan. "Bahkan anak-anak kecil pun harus bersiap ke sekolah sekitar pukul empat pagi. Banyak di antaranya yang tidak bisa bangun, sehingga terlambat satu atau dua jam," katanya.
Restoran-restoran milik pemerintah hanya buka sampai jam makan siang. Hal ini merepotkan orang-orang yang bepergian antarkota. Mereka tidak dapat mencari makanan jika sudah lewat jam makan siang.
Meski pemerintah menyatakan Sambok merupakan bukti cinta Kim Jong-un kepada rakyatnya, banyak warga mengabaikannya. "Rakyat mengatakan tidak ada artinya bekerja lebih awal. Sebab, tidak hanya boros listrik, tapi juga tidak ada hal yang dikerjakan. Perintah ini membuat semua orang lelah," kata sumber itu.
GUARDIAN | DAILY NORTH KOREA | NATALIA SANTI