TEMPO.CO, Mountain View - Google Plus atau biasa ditulis Google+ kerap disebut sebagai media sosial gagal. Konsep utamanya sama dengan Facebook dan Twitter, yang mengusung interaksi antar-pengguna di lini masa. Pengguna bisa mengunggah status, foto, serta video kemudian memberikan tanda like atau suka dan menuliskan komentar.
Konsep tersebut sudah lebih dulu diperkenalkan Facebook dan Twitter. Pengguna pun tidak menemukan fitur anyar dan menarik. Google+ kemudian dianggap tidak mampu berinovasi. Penciptanya, Bradley Horowitz, menolak karyanya itu disebut membingungkan.
"Google+ sering dikritik karena membingungkan. Namun tidak demikian, karena ini merupakan destinasi yang tepat untuk bisa menghubungkan pengguna di seluruh dunia," kata Horowitz kepada situs Business Insider, Selasa, 28 Juli 2015.
Horowitz menuturkan Google sedang berfokus memperbaiki laman profil. Profil bakal dirancang agar hanya menampilkan secara spesifik hal yang disukai pengguna. Laman ini nantinya terhubung dengan produk Google lain, salah satunya situs video YouTube.
Dengan demikian, pembaruan laman profil akan mengubah tujuan awal Google+. "Empat tahun lalu, kami membuatnya sebagai platform dan sarana berbagi apa saja," ucap Horowitz.
Dia pun mengatakan ada konsekuensi yang harus ditanggung terkait dengan perubahan laman profil. Tidak mudah bagi pengguna untuk bisa beradaptasi secara cepat. Dia mencontohkan, kondisi serupa akan terjadi jika situs populer, seperti YouTube, menghadirkan perubahan signifikan.
Perubahan rupanya juga akan dilakukan pada beberapa fitur, khususnya terkait dengan pengalaman pengguna. "Saya sangat bersemangat menerapkan strategi untuk bisa menghubungkan semakin banyak orang di seluruh dunia," ujar Horowitz.
SATWIKA MOVEMENTI