TEMPO.CO - NAHDLATUL Ulama mulai tahun ini berubah wajah. Organisasi massa Islam terbesar di Tanah Air ini tidak lagi memakai sistem pemilihan langsung untuk menentukan Rais Am Syuriah pada Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus depan. Penentuan pemimpin tertinggi NU tersebut bakal dikembalikan ke tangan ahlul halli wal aqdi.
Ahlul halli wal aqdi (AHWA) merupakan formatur yang berisi sembilan ulama berpengaruh di kalangan warga nahdliyin. Mereka—biasanya terdiri atas para kiai sepuh—mewakili suara yang sebelumnya menjadi hak politik sekitar 500 peserta muktamar dari seluruh pengurus wilayah dan cabang NU di Indonesia dan luar negeri.
Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siradj mengatakan pemilihan Rais Am lewat AHWA bertujuan menjaga wibawa para ulama. Menurut dia, cara pemilihan langsung cenderung mengadu para kiai sepuh, sosok yang seharusnya sangat dihormati di internal NU. "Tidak pantas kalau ulama melalui proses kegaduhan seperti itu," kata Said di kantornya, Jumat pekan lalu.
Dalam sejarah NU, musyawarah mufakat oleh ahlul halli wal aqdi pernah digunakan sejak NU berdiri pada 1926 sampai 1952. Setelah ditinggalkan selama 32 tahun, sistem ini sempat dipakai lagi dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Ketika itu AHWA memilih Achmad Shiddiq sebagai Rais Am Syuriah (ketua dewan syura). Achmad kemudian menunjuk Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU.
Kini, setelah tiga dasawarsa melalui sistem pemungutan suara, Rais Am kembali dipilih secara musyawarah. Bedanya, Rais Am yang terpilih dalam Muktamar di Jombang nantinya tidak akan menentukan Ketua Umum PBNU. Pemimpin tertinggi tanfidziyah (pelaksana) akan tetap ditentukan oleh para peserta muktamar lewat voting.
Menurut Said, pemilihan AHWA diawali dengan rapat gabungan mustasyar (penasihat) dan syuriah yang telah menyeleksi 39 nama ulama sepuh. Nama-nama itu diserahkan ke seluruh pengurus wilayah dan cabang untuk dikerucutkan menjadi sembilan nama. Sembilan kiai yang paling banyak diusulkan bakal menempati formatur AHWA. "Mereka bisa memilih satu dari sembilan orang atau sepakat memilih orang di luar mereka," ujarnya.
Keputusan NU kembali ke AHWA tidak datang seketika. Seorang pengurus NU di Jawa Timur mengatakan sistem ini dipilih guna menyikapi adanya indikasi perpecahan di internal NU, antara kubu yang memilih dekat dengan kekuasaan dan kubu yang ingin mengembalikan NU ke jalan tradisional. "Pilihan formatur memang ada kecenderungan untuk dikondisikan, tapi kami percaya ini yang terbaik daripada pemilihan langsung yang unsur uangnya lebih besar," ujar dia.
Selanjutnya >> Sistem pemilihan AHWA dikritik sebagian kiai...