TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) kembali menggelar unjuk rasa di gedung kantor anak usaha PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II.
Unjuk rasa kali ini terkait pemecatan sepihak oleh perusahaan. "Kami melakukan aksi solidaritas untuk rekan kami," kata Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT Firmansyah saat dihubungi, Selasa, 28 Juli 2015.
Menurut Firmansyah, dua rekannya di Serikat Pekerja JICT yang bernama Ermanto dan Iqbal dipecat tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku tadi malam. Dia menduga pemecatan itu dilakukan karena dua pekerja itu menolak perpanjangan konsesi JICT. "Kami menuntut pembatalan PHK sepihak oleh direksi dengan alasan yang dicari-cari," ucap Firmansyah.
Selain itu, Firmansyah juga menuntut konsesi JICT dibatalkan karena merugikan keuangan negara. "Harga privatisasi JICT tidak wajar."
Firmansyah mengklaim ada sebanyak 400-500 pekerja yang berpartisipasi dalam aksi simpatik itu. Mereka mendatangi gedung kantor sejak pukul 3 dinihari. Aksi akan dilakukan hingga tuntutan mereka terpenuhi.
Serikat pekerja juga menyuarakan tuntutan pencopotan Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino. Menurut Firmansyah, Lino mengklaim perpanjangan konsesi telah disepakati, padahal kenyataannya belum.
Pelindo berencana buru-buru memperpanjang konsesi pengelolaan terminal peti kemas dengan perusahaan Hutchison Hongkong walau kontrak sebenarnya baru berakhir pada 2019 mendatang. Dulu konsesi disepakati karena Indonesia belum bisa mengelola sendiri pelabuhan tersebut. "Sekarang kami mampu mengelola sendiri," kata Firmansyah.
Diberitakan sebelumnya, Lino mengaku Menteri BUMN Rini Soemarno telah menyetujui perpanjangan kontrak dengan HPH itu. Artinya, kontrak HPH di JICT yang habis pada 2019 dan di TPK Koja pada 2018 bakal diperpanjang selama 20 tahun lagi. Namun pernyataan Rini ternyata tak utuh dikutip Lino.
Dalam surat persetujuan Rini disebutkan Menteri BUMN secara prinsip menyetujui rencana perpanjangan kontrak Pelindo II dengan HPH. Namun Menteri BUMN memberi syarat perpanjangan itu harus mengacu ke Undang-Undang Pelayaran yang memisahkan peran operator dan regulator pelabuhan. Artinya, Pelindo II sebagai operator harus mendapat konsesi terlebih dulu untuk mengelola pelabuhan dari regulator, yaitu otoritas pelabuhan.
Pelindo II dalam hal ini dinilai tidak punya hak untuk melakukan perpanjangan konsesi karena merupakan domain otoritas pelabuhan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan.
Harga privatisasi JICT yang saat ini sebesar US$ 215 juta dinilai tidak wajar mengingat ketika konsesi awal dibuat pada 1999 harganya sebesar US$ 243 juta. Padahal, kapasitas dan aset pelabuhan saat ini sudah meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan saat krisis ekonomi kala itu.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA | KHAIRUL ANAM