TEMPO.CO , Makassar: Peneliti Balai Bahasa Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Haslina Fajrin mengatakan, kata Makassar yakni pete-pete atau angkutan kota resmi masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia. Kata tersebut diusulkan dan masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi 4 tahun 2008.
Selain pete-pete, kata Haslina, sudah ada 30 kata dari bahasa Bugis, Makassar, dan Mandar yang masuk dalam KBBI. Misalnya makanan yang terbuat dari pisang barongko, alat penghalus rempah-rempah cobek-cobek, dan makanan tradisional dari ubi kayu jepa. “Semua kata ini tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia,” kata Haslina, Jumat, 31 Juli 2015.
Menurut dia, dengan masuknya bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia maka akan memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Sekaligus melestarikan bahasa daerah. “Karena bahasa Indonesia juga banyak menyerap bahasa asing. jadi tidak salah jika bahasa daerah juga diserap. Dengan syarat belum ada padanannya,” kata Haslina.
Haslina mengatakan, tidak hanya bahasa daerah yang sudah ada yang bisa diusulkan untuk menjadi bahasa Indonesia. “Peneliti yang menemukan benda baru kemudian pertama kali memberikan istilah juga bisa dijadikan bahasa Indonesia,” katanya. Kata Haslina, dalam pelestarian bahasa sebagai budaya sebuah daerah, banyak kendala yang ditemukan peneliti. Misalnya warga setempat tidak lagi menggunakan bahasa aslinya karena merasa tidak percaya diri. Penutur aslinya juga sudah mulai berkurang. “Bahkan bahasa dan cara bertutur mereka sudah bercampur dengan bahasa pendatang,” kata Haslina.
Untuk menjaga agar bahasa sebagai ciri khas sebuah suku atau daerah, Balai Bahasa sudah melakukan dokumentasi tertulis dan suara. Sehingga setiap saat, bahasa tersebut bisa dipelajari lagi oleh generasi berikutnya. “Tapi kembali lagi kepada kita, apakah mau menggunakan bahasa asli daerah atau lebih memilih menggunakan bahasa asing,” kata Haslina.
Dosen Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar Aslan Abidin mengatakan, banyak bahasa daerah yang merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia terancam punah. Karena tidak kewajiban bagi warga Indonesia untuk mempelajari bahasa daerahnya. “Berbeda dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, ada hal tertentu yang memaksa orang wajib mempelajarinya. Misalnya jika ingin sekolah ke luar negeri harus pintar bahsa inggris,” kata Aslan.
Menurut Aslan, bahasa daerah harus tetap dipertahankan. Karena banyak bahasa daerah yang hilang kesakralannya, jika dialihbahasakan ke Indonesia atau Inggris.
MUHAMMAD YUNUS