TEMPO.CO, Jombang - Dua peneliti Islam di Indonesia, Martin van Bruinessen dari Utrecht University Belanda dan Mitsuo Nakamura dari Chiba University Jepang, menjadi pembicara dalam diskusi di Universitas Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Sabtu pagi, 1 Agustus 2015. Mereka bicara tentang Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia bersama pengasuh Pondok Tebuireng KH Salahudin Wahid atau Gus Solah.
Halakah ini di luar agenda Muktamar NU yang berlangsung di Jombang pada 1-5 Agustus 2015. Halaqah bertajuk “Menjelang Satu Abad: Quo Vadis NU” itu digagas Jaringan NU Kultural (Janur) dan Pondok Pesantren Tebuireng. “Ada beberapa masalah yang harus disikapi NU saat ini,” kata penggagas halakah yang juga aktivis Janur, Aan Anshori.
Baca Juga:
Beberapa masalah itu antara lain hubungan NU dengan pemerintah dan partai politik, penegasan Islam moderat di tengah persaingan faksi di internal NU, tantangan korupsi yang menggila, dan eksploitasi sumber daya alam. Mereka juga bicara konsolidasi dan penataan organisasi.
“Martin dan Nakamura dikenal reputasinya sebagai peneliti yang concern terhadap dinamika ormas sipil dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Studi mereka akan berguna bagi NU untuk menata diri,” ujar Aan.
Muktamar NU dibayangi persaingan keras dalam perkubuan di NU. Satu kubu menuduh NU telah disusupi paham di luar ahlus sunnah wal jamaah. Sedangkan kubu lain menilai tuduhan itu sarat muatan kepentingan politis.
Perubahan mekanisme pemilihan pimpinan tertinggi NU, Rais Aam, dari pemilihan langsung menjadi musyawarah mufakat membuat muktamar berlangsung panas. Kemungkinan terjadi jalan buntu dalam pemilihan Rais Aam terbuka lebar.
ISHOMUDDIN