TEMPO.CO, Jakarta – Di depan pelaku pasar di Bursa Efek Indonesia (BEI), Presiden Joko Widodo mengajak yang tak percaya pembangunan infrastruktur berjalan melihat langsung progres pembangunan.
"Tunjuk jari, saya tunjukkan ke lapangan, pembangunan jalan, irigasi jalan. Saya tunjukkan kalau masih ada yang meragukan. Pelabuhan juga berjalan," katanya saat mengunjungi BEI, Senin, 10 Agustus 2015.
Dia ingin pelaku pasar percaya pemerintah sedang mengejar pertumbuhan infrastruktur. "Jadi, sekali lagi, percayalah! Karena itulah yang sekarang diperlukan, yakni perubahan persepsi," ucapnya. "Memang mendapatkan public trust tidak mudah, harus realisasi dulu. Tapi kan realisasi butuh waktu. Maka yang sering saya tunjukkan adalah prosesnya ada, progresnya ada," ujarnya.
Jokowi menuturkan penyerapan belanja barang, modal, dan infrastruktur baru terserap sedikit. Dia mencontohkan, penyerapan belanja modal baru 12 persen hingga Juni 2015. Namun dia berjanji akan menyerap belanja sebanyak-banyaknya pada semester kedua. "Tapi ini akan dihabisi semester kedua sisanya. Berarti yang 88 persen di semester kedua," tuturnya.
Tak hanya itu, belanja infrastruktur di BUMN sekitar Rp 120 triliun baru dimulai pada semester ini. Dia mengaku terus mendorong kecepatan penyerapan anggaran meski pertumbuhan ekonomi nasional turun 0,3 persen karena perlambatan ekonomi dunia.
Jokowi telah bertanya angka serapan sampai akhir tahun ini ke setiap kementerian. Menurut dia, penyerapan anggaran hingga akhir tahun nanti mencapai 93 persen. "Yang ngomong menterilah (Menteri Keuangan), saya hanya meneruskan, menekankan lagi," katanya.
Selama sepuluh tahun menjabat sebagai birokrat, ucap Jokowi, serapan anggaran belanja biasanya meroket pada Oktober-November. Melejitnya penyerapan, ucap dia, akan berimbas pada hasil pertumbuhan ekonomi tahun ini nantinya.
Tak hanya meresmikan pembangunan infrastruktur, Jokowi mengaku selalu mengontrol dan mengawasi progres setiap 3-6 bulan. Menurut dia, progres pekerjaan tidak benar karena dua hal. Yakni manajemen BUMN kurang baik karena masih bekerja dengan pola lama (tidak cepat) atau menterinya tidak bisa mengejar target progres pekerjaan. "Kalau BUMN, ya diganti direksinya. Kalau menterinya, ya diganti menterinya. Saya sih simpel mikirnya," tuturnya.
ALI HIDAYAT