TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah Cina memutuskan untuk mendevaluasi, sengaja menurunkan nilai tukarnya, mata uangnya terhadap dolar Amerika pada Selasa, 11 Agustus 2015. Yuan turun 1,9 persen menjadi 6,3272. Ini yang merupakan nilai tukar terlemah tiga tahun terakhir. Pergerakan mendadak Cina sebagai respon rapor buruknya di bidang ekonomi.
"Ini adalah akhir tren yang kita ketahui selama ini" ujar analis dari Australia dan New Zealand Bankin Group Khoon Goh seperti yang dilansir Bloomberg, Selasa, 11 Agustus 2015. Menurutnya, langkah Cina yang seolah mengalah terhadap Dollar memungkinkan munculnya rezim perekonomian yang baru.
Hal ini dipercaya untuk meningkatkan daya saing produknya, terutama ihwal ekpor negeri tirai bambu tersebut. Performa ekspor dilaporkan mengecewakan tak seimbang terhadap hasil manufaktur dan perlambatan kredit. Cina tak lagi mentolerir penguatan nilai tukarnya karena berisiko terhadap daya saing dan permintaan global yang ketat.
Menurut data bloomberg, fenomena ini sudah berdampak pada pasar saham di Asia dan harga komoditas. Devaluasi yuan menjadi pematik pelemahan nilai tukar dollar Australia, won Korea Selatan, dan dolar Singapura. Indeks bursa saham eropa (The Stoxx Europe 600) turun 0,4 persen sedangkan indeks The Standard Poor's 500 turun 0,4 persen.
Begitu pula dengan indeks MSCI Asia Pacific yang turun hingga 1 persen.Tak hanya sektor keuangan, dampak juga terasa dengan turunnya harga komoditas sebesar 2,7 persen sejak Senin. Almunium, platinum, paladium, tembaga, dan nikel turun setidak-tidaknya 0,3-2 persen. Pun, dengan harga minyak dunia yang turun 5,9 sen menjadi US$ 49,79 per barel dan emas yang turun menjadi US$ 1.093, 25 dari US$ 1.110,9.
Menurut Wakil Jendral Manajer Qingdao Youbangyuan Trading Shanghai, Ren Gang, meskipun banyak berdampak buruk, kebijakan Cina ini dapat menekan pengeluaran modal negari panda tersebut. "Depresiasi Yuan akan menekan impor," katanya.
Selain itu, Cina juga diuntungkan dengan pelemahan mata uangnya pada perdagangan obligasi. Yield obligasi dollar 10 tahun jatuh hingga 2,19 persen. Sedangkan obligasi Jerman terbayar dan Prancis serupa masing-masing turun menjadi 0,67 persen dan 0,97 persen.
BLOOMBERG | BBC | REUTERS | ANDI RUSLI