TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Karyanto Suprih memastikan revisi atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/PER/9/2015 tentang impor garam akan selesai akhir Agustus ini.
"Kami bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Bea-Cukai, Badan Kebijakan Fiskal, dan lembaga lain sepakat membentuk tim khusus untuk revisi aturan ini," kata Karyanto di kantornya, Selasa, 11 Agustus 2015.
Baca Juga:
Salah satu perbaikan paling mendasar dalam beleid itu, menurut Karyanto, ialah soal definisi garam industri dan konsumsi. "Meskipun dalam aturan sekarang sudah ada lampiran definisinya, tapi belum spesifik garam jenis tertentu peruntukannya untuk industri apa," ujarnya. Pada revisi itu akan dijelaskan garam untuk industri kimia yang bagaimana, lalu untuk makanan seperti apa.
Pada aturan sebelumnya, yang dimaksud garam konsumsi adalah garam dengan kadar NaCl sebesar 94,97-97 persen, maka dalam aturan baru kadar tersebut diubah menjadi dari 54,97-97 persen. Sedangkan untuk garam industri tidak ada perubahan, yaitu garam dengan kadar NaCl di atas 97 persen.
Revisi ini, kata Karyanto, merupakan bagian dari pembahasan roadmap swasembada garam tahun 2016 yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian. "Nanti setiap lembaga dan kementerian akan mengusulkan rencana masing-masing," tuturnya Dengan revisi ini, diharapkan pengendalian dan pembatasan impor garam akan lebih ketat.
Sebetulnya, menurut Karyanto, saat ini impor garam industri tidak terlalu besar. "Paling hanya 15 persen," ucapnya. Jumlahnya pun dibatasi sebanyak 397 ribu ton. Dengan pembatasan dan penegasan definisi jenis garam itu, Karyanto memastikan pemantauan penyerapan garam impor lebih mudah. "Tinggal dilihat per bidang industrinya, serapan mereka sesuai realisasi atau tidak. Kalau tidak, patut dicurigai ada kebocoran."
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan industri aneka pangan, industri chlor alkali plant (CAP), dan industri lain seharusnya dapat memanfaatkan garam petani yang diproduksi dalam negeri. Alasannya, kadar NaCl yang dibutuhkan sekitar 96 persen masih dapat dipenuhi petani garam dalam negeri.
Sedangkan untuk industri farmasi, impor garam industri masih dapat dilakukan karena kadar NaCl yang dibutuhkan mencapai minimal 99 persen. Susi meminta Kementerian Perdagangan agar lebih ketat mengatur importasi garam industri di tengah upaya yang dilakukan Kementerian untuk meningkatkan kualitas garam petani.
PRAGA UTAMA