TEMPO.CO, Bandung - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nur Kholis mengatakan, lembaganya belum bersikap soal revisi RUU KUHP pemerintah yang menyelipkan pasal penghinaan pada presiden. “Kami belum bersikap, tapi menurut saya sebaiknya gak perlu diatur juga,” kata dia di Bandung, Kamis, 13 Agustus 2015.
Nur meminta agar pemerintah menyisir ketentuan perundangan yang ada. “Melaui pasal-pasal yang sudah ada, sebenarnya cukup terlindungi. Kalaupun mau membahas itu lebih baik dijadikan wacana publik terlebih dulu dan di disikusikan di forum-forum yang memadai sebelum di bahas di DPR,” kata dia.
Menurut Nur, lembaganya berkepentingan soal pasal penghinaan pada presiden itu untuk memastikan kebebasan berpendapat dan berekspresi tetap terjamin. “Kalau menyangkut wibawa presiden, tolong cek secara seksama dulu ketentuan lain yang ada sebelum melangkah terlalu jauh, tapi sebagai wacana bahwa memang ada keperluan untuk perlindungan terhadap kepala negara, silahkan saja,” kata dia.
Nur mengatakan, pasal penghinaan presiden itu berpotensi represif. “Kalau salah merumuskan bisa represif, karena itu perlu kehati-hatian,” kata dia. “Jangan sampai pasalnya nanti multi tafsir. Di masa lalu kita punya pengalaman pasal-pasal yang dapat mengekang demokrasi.”
Pemerintah menyodorkan 786 pasal RUU KUHP ke DPR untuk dimasukkan ke KUHP. Salah satu pasal adalah soal penghinaan presiden. Pasal itu sebelumnya telah diajukan peninjauan kembali oleh pengacara Eggy Sudjana pada 2006. Mahkamah Konstitusi mengabulkan dan mencabut pasal tersebut karena dianggap tidak memiliki batasan yang jelas.
AHMAD FIKRI