TEMPO.CO, Jakarta - Pilot pesawat Trigana Air yang jatuh di Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, menurunkan ketinggiannya hingga 8.800 kaki sesaat sebelum kecelakaan terjadi. Ketinggian tersebut jauh lebih rendah dari ketinggian gunung, yaitu 13 ribu. Padahal, menurut Airnav Indonesia, cuaca saat pesawat kehilangan kontak pada Minggu, 16 Agustus itu dalam kondisi cerah.
Pengamat penerbangan Ruth Hana Simatupang mengatakan ada beberapa kemungkinan mengapa pilot menurunkan ketinggian saat cuaca cerah. Pertama, angin kencang yang tiba-tiba menghempas sehingga harus diimbangi dengan kondisi pesawat.
"Apalagi kondisi cuaca dan angin di Indonesia timur sangat berpengaruh dengan kondisi benua Australia. Banyak pilot memang mengakui terbang di timur adalah tantangan," kata Ruth saat dihubungi Tempo, Rabu, 19 Agustus 2015.
Kedua, peralatan penerbangan yang tiba-tiba rusak atau failure of equipment. "Bisa jadi alat menunjukkan ketinggian yang salah atau tidak menunjukkan kecepatan arah angin," kata mantan investigator Komisi Nasional Keselamatan Transportasi ini. Kemungkinan terakhir adalah kesalahan pilot atau human error.
Direktur Operasi Air Nav Indonesia Wisnu Darjono mengatakan kecil kemungkinan pesawat Trigana jatuh akibat human error. Musababnya, sang pilot, Kapten Hasanudin, terbang dengan lancar pada hari yang sama dengan jalur sebaliknya, Oksibil-Sentani. "Pilot sudah berpengalaman, cuaca juga bagus, ini masih misteri," kata dia.
Pesawat itu menabrak gunung 30 menit setelah lepas landas dari Sentani, antara pukul 14.55 hingga 15.00 WIT. Pesawat dengan nomor registrasi PK-YRN dan nomor penerbangan IL-257 itu membawa 49 penumpang dan lima kru pesawat.
INDRI MAULIDAR