TEMPO.CO, Jakarta - Sastrawan dan budayawan Ahmad Tohari mengeluhkan kurangnya perhatian negara terhadap dunia sastra. “Puluhan tahun saya berkarya di dunia sastra yang sepi ini, jarang sekali dunia saya ini mendapatkan perhatian dari para petinggi negara,” ujarnya saat menerima Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) 2015 di hadapan Ketua DPR Setya Novanto dan sejumlah tamu undangan PAB.
Sastrawan kelahiran Banyumas 67 tahun yang lalu tersebut menambahkan bahwa selama ini apresiasi terhadap dirinya dan dunia sastra Indonesia secara umum lebih banyak berasal dari luar negeri. Dunia sastra di Indonesia, menurut dia, masih belum diminati bangsanya sendiri. “Tingkat baca karya sastra masyarakat Indonesia baru sekitar 7 persen,” katanya.
Ahmad Tohari menjelaskan bahwa para sastrawan maupun pembaca karya sastra adalah orang-orang yang perasa dan peka terhadap kondisi di sekitarnya. Karena itu, kata dia, keberadaan mereka penting untuk diperbanyak di masyarakat. “Indonesia sudah memiliki banyak manusia yang cerdas dan terampil, tapi masih kekurangan manusia yang perasa dan sensitif,” tuturnya.
Ahmad Tohari menerima Penghargaan Achmad Bakrie pada bidang kesusastraan karena dia dianggap sebagai tokoh yang memperkokoh tradisi sastra realisme di Indonesia. Dia dipandang piawai mengolah inspirasi dari kehidupan di sekitarnya serta peka terhadap masalah sosio-kultural masyarakat pedesaan.
Penghargaan Achmad Bakrie diberikan oleh Yayasan Achmad Bakrie kepada para tokoh terbaik bangsa yang dinilai telah memberikan sumbangan besar dan berharga bagi pembangunan nasional.
Tahun ini, PAB memberikan penghargaan kepada Azyumardi Azra, bidang ilmu sosial; Ahmad Tohari, bidang kesusastraan; Tigor Silaban, bidang kedokteran/kesehatan; Suryadi Ismadji, bidang sains; Kaharuddin Djenod, bidang teknologi; dan Suharyo Sumowidagdo, ilmuwan muda berprestasi. Hingga penyelenggaraan ke-13 pada tahun ini, PAB telah menganugerahkan 51 tokoh nasional dari berbagai latar belakang keilmuan.
RADITYA PRADIPTA