TEMPO.CO , Jakarta: Ahli tata kota Yayat Supriyatna mengatakan, sebenarnya banyak warga Kampung Pulo yang setuju untuk direlokasi. Tetapi, ada satu hal yang membuat warga Kampung Pulo itu resah.
Menurut Yayat, relokasi yang dilakukan pemerintah menggunakan sistem property to property. Artinya, setiap satu keluarga berhak menempati satu rumah. Padahal, di Kampung Pulo, ada banyak keluarga yang tinggal satu rumah.
"Di sana, tiap rumah bisa ada nenek, ibu, menantu. Coba, sudah ada 3 KK, kan? Kalau pindah di rusun, masing-masing keluarga nanti pisah. Ini yang bikin mereka galau," ujar Yayat saat ditemui di Rumah Makan Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, Sabtu 22 Agustus 2015.
Yayat menambahkan, fenomena itu terjadi karena banyak keluarga yang tidak mampu membeli rumah sehingga mereka tinggal bersama orang tua, bahkan kakek dan neneknya. Yang menjadi masalah adalah, ketika direlokasi nanti. "Masing-masing keluarga akan menanggung sewa rumah, tagihan listrik, air, dan yang lainnya."
Yayat mengatakan kebanyakan mata pencaharian warga Kampung Pulo adalah berdagang dengan membuka warung di rumah masing-masing. Hal itu, bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tetapi, setelah tinggal di rusun nanti, mereka tidak dapat seenaknya membuka warung, sebab akan ada aturan tersendiri.
Untuk mengatasi masalah ini, Yayat menyarankan pemerintah sebaiknya tidak hanya merelokasi rumah warga, tetapi juga dibarengi dengan membuka lowongan pekerjaan. Sebab, bagaimanapun juga, kesejahteraan warga Kampung Pulo juga menjadi tanggung jawab pemerintah. "Mereka kan bayar pajak juga ke pemerintah. Makanya, ajak mereka kerja dong."
DIAH HARNI SAPUTRI
VIDEO PENGGUSURAN KAMPUNG PULO: