TEMPO.CO, Kudus - Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kudus, yang membawahi bidang pembangunan, melakukan inspeksi mendadak di kawasan sumber mata air Pegunungan Muria di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sebelumnya anggota Dewan telah mendapat sejumlah laporan dari warga serta Aliansi Masyarakat Sumber Mata Air Pegunungan Antieksploitasi Komersial tentang krisis air yang dihadapi warga.
“Eksploitasi air secara komersial ini harus segera dihentikan karena telah merugikan banyak pihak,” ujar Ketua Komisi C DPRD Kudus Agus Imakudin, saat ditemui di salah satu lokasi eksploitasi air, Kamis, 27 Agustus 2015.
Menurut pria yang akrab disapa Udin itu, masalah eksploitasi air Pegunungan Muria telah menjadi ancaman serius bagi para petani yang memiliki lahan di lereng pegunungan. Karena selama ini hasil pertanian palawija yang mereka tanam sangat bergantung pada sumber mata air yang dihasilkan dari pegunungan purba yang menjadi makam Sunan Muria itu.
Selain itu, eksploitasi mata air yang dilakukan secara berlebihan telah menimbulkan konflik sosial antarwarga selama bertahun-tahun, terutama dari kalangan pengusaha air dan petani. “Jika sudah menimbulkan gesekan seperti ini berarti asas manfaat sudah tidak lagi dirasakan oleh warga,” ujarnya.
Selama ini Pemerintah Kabupaten Kudus kesulitan menertibkan pihak-pihak yang telah memanfaatkan sumber mata air secara berlebihan. Hal ini karena belum adanya peraturan daerah yang mengatur pemanfaatan air permukaan tanah. Bahkan walau telah mengakibatkan dampak kekeringan pada musim kemarau. Pihak Satuan Polisi Pamong Praja tak berani menertibkan. “Karena penertiban wewenangnya langsung ke provinsi,” kata Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Kudus Abdul Halil.
Apalagi dari puluhan pemilik pipa yang terlihat di sepanjang jalan menuju Makam Sunan Muria, kata Halil, baru tiga yang memiliki izin resmi pemanfaatan permukaan air tanah dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum.
Menurut Kamid, salah seorang petani Desa Kajar, Kecamatan Dawe, di lereng Pegunungan Muria sudah tiga tahun ini mereka kesulitan mengaliri air ke ladangnya. Hal ini akibat dari eksploitasi air secara berlebihan yang mengakibatkan sumber mata air pegunungan itu mengalami kekeringan terutama pada musim kemarau.
Akibatnya hasil pertanian tanaman palawija dari Pegunungan Muria terus menurun setiap tahunnya. “Bagaimana hasil pertanian tidak berkurang, jika selama musim kemarau kami terpaksa tidak bisa bertani,” kata Kamid kepada Tempo.
FARAH FUADONA