TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat melakukan studi banding ke Inggris untuk meriset penerapan hukum adat dan pidana di negara tersebut. Sembilan anggota Komisi tinggal selama enam hari di sana, sambil mencari bekal pembahasan Rancangan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Karena di RUU KUHP itu terdapat pengaturan mengenai kemungkinan dipidananya sesorang atas dasar hukum yang hidup di masyarakat (living law)," kata anggota komisi, Arsul Sani di Kompleks Parlemen Senayan, Senin, 31 Agustus 2015.
Sembilan anggota komisi yang mengikuti kunjungan kerja tersebut yaitu Ketua Komisi Hukum Aziz Syamsuddin, John Kennedy Aziz, Iwan Kurniawan, Nassir Djamil, Bahrudin Nasori, Arsul Sani, Dwi Ria Latifa, Didik Mukriyanto, dan Daeng Muhammad. Mereka berdiskusi dengan para perjabat Bidang Perundang-undangan Pidana Kementerian Kehakiman Inggris, ahli hukum pidana Oxford University, Amnesty International, dan Restorative Justice Council.
Inggris menerapkan dua tipe hukum yaitu common law criminal offences, dan statute criminal offences. Common law criminal offences yaitu perbuatan-perbuatan yang menurut hukum tidak tertulis (adat) bisa dipidana dan kemudian jadi hukum yang diputuskan oleh Pengadilan. Sedangkan statute criminal offences adalah perbuatan pidana yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Arsul mengatakan pemerintah Inggris cenderung akan menerapkan seluruh hukum berazaskan Statute Criminal Offences. "Sedangkan kita sebaliknya (lebih common law). Khawatirnya, ada perbuatan pidana misal di Aceh dianggap pidana tapi Jateng anggap bukan. Artinya tidak seragam," kata Wasekjen PPP itu.
Di luar soal itu, DPR juga belakar soal pasal-pasal tentang korupsi dan penyuapan, soal keadilan restorative berupa hukuman sosial.
"Kami mau lihat konsep hukuman di samping pidana denda dan penjara. Bila antara pelaku dengan korban bisa memaafkan, pelaku tak harus dikirim ke penjara," kata dia.
PUTRI ADITYOWATI