TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi hari ini menggelar sidang kedua perkara pengujian aturan jumlah minimal pasangan calon dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Agenda sidang kali ini adalah perbaikan permohonan.
Peraturan yang diajukan untuk diuji oleh MK tersebut tertulis dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota menjadi UU Pilkada.
Pengujian ini dimohonkan oleh tiga pihak sekaligus. Pemohon pertama adalah warga Surabaya atas nama Aprizaldi, Andri Siswanto, dan Alex Andreas. Kedua adalah anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewan Perwakilan Cabang Surabaya, salah satunya adalah calon Wakil Wali Kota Surabaya, Wisnu Sakti Buana. Pemohon terakhir atas nama Effendi Ghazali dan Yayan Sakti Suryandaru.
Menurut pemohon, peraturan ini bisa membuat warga negara yang tinggal di daerah, yang hanya memiliki satu pasangan calon, mendapatkan perlakuan diskriminatif. "Kerugian tersebut terutama terjadi pada hak konstitusional mereka dalam pilkada," kata pemohon, dalam keterangan tertulis Mahkamah Konstitusi, Selasa, 1 September 2015.
Penundaan pilkada, kata mereka, juga bisa berakibat terhambatnya keputusan strategis dan penting dalam pembangunan daerah. Sebab, daerah hanya dipimpin seorang pelaksana tugas.
Dalam sidang sebelumnya, majelis panel hakim konstitusi yang diketuai Patrialis Akbar meminta pemohon agar memperbaiki beberapa hal, khususnya mengenai kedudukan hukum dan petitum permohonannya. Patrialis didampingi Sumartoyo dan I Dewa Gede Palguna.
FAIZ NASHRILLAH