TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejumlah perajin batik di Imogiri, Bantul, ikut terkena imbas pelemahan nilai tukar rupiah yang kini masih tertahan di angka 14 ribu per dolar Amerika. Sejak rupiah melemah, mereka harus mengeluarkan biaya 20 persen lebih besar untuk pewarna sintetis dan kain. “Keuntungan perajin jadi berkurang,” kata Ketua Paguyuban Batik Tulis Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Bantul, Nur Ahmadi kepada Tempo, Senin, 31 Agustus 2015.
Nur mengatakan selama ini para perajin yang tergabung dalam paguyuban menggunakan dua bahan pewarna untuk membuat batik, yakni pewarna sintetis yang diimpor dan pewarna alami yang dikerjakan secara langsung oleh perajin batik.
Dalam proses pembuatannya, batik dengan pewarna alami memerlukan proses yang lama. Paling tidak perlu waktu satu bulan. Pewarna alami menggunakan bahan-bahan yang berasal dari kulit pohon, seperti kulit mahoni dan jati. Untuk bisa menjadi pewarna, bahan-bahan itu harus melalui proses fermentasi. Karena prosesnya yang rumit dan lama, batik dengan pewarna alami dijual jauh lebih mahal, yakni Rp 400 ribu-2,5 juta per lembar.
Karena harganya yang mahal, tak semua orang mau membeli batik dengan pewarna alami. Sedangkan batik pewarna sintetis dihargai Rp 350 ribu-1 juta. Di Giriloyo, batik tulis berukuran 2,5 meter dijual seharga Rp 450-2,5 juta. Batik tulis dikerjakan dengan serius menggunakan teknik membatik, misalnya lilin panas.
Nur Ahmadi mengatakan, bila nantinya nilai tukar rupiah tak kunjung menguat, para perajin berencana mengurangi penggunaan pewarna sintetis. Selanjutnya, mereka akan lebih banyak menggunakan pewarna alami.
Paguyuban Batik Tulis Giriloyo memiliki 15 kelompok perajin. Wukirsari, yang merupakan desa wisata, memiliki 600 keluarga yang punya profesi pembatik. Batik-batik karya warga Desa Wukirsari kemudian dikirim ke sejumlah daerah, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali.
SHINTA MAHARANI