TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan buruh mengepung patung kuda di Jalan M.H. Thamrin hingga Istana Merdeka, Selasa, 1 September 2015. Mereka menguasai dua sisi badan jalan protokol yang menghubungkan Jakarta Selatan dengan Jakarta Pusat dan Utara itu karena ditutup.
Akibatnya, Muhammad Iqbal terlambat menjenguk kerabatnya di Rumah Sakit Royal Taruma, Grogol. Dari Menteng, pekerja swasta itu mesti berputar-putar ke Tanah Abang karena jalan ke arah Istana Negara ditutup. “Macet pula karena semua kendaraan menuju ke sana,” kata pria 23 tahun itu.
Iqbal mendukung demonstrasi karena menyampaikan aspirasi dan kebebasan berpendapat. Namun hal itu mengganggu orang lain, seperti pengguna jalan. Dia menyebutnya “paradoks demokrasi”. “Tak ada demo saja macet, apalagi ada demo,” ujarnya.
Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Inspektur Jenderal Tito Karnavian sudah mengusulkan agar pemerintah Jakarta membuat tempat khusus demonstrasi, seperti Highland Park di Inggris. “Saya dengar sedang dibahas parlemen, semacam alun-alun demokrasi di kompleks DPR,” tutur Tito, Selasa.
Menurut Tito, berdemo merupakan hak yang tak boleh dilanggar, terutama di negara penganut demokrasi seperti Indonesia. Tempat khusus untuk berdemo membuat kegiatan ini tak mengganggu warga lain.
Keinginan Tito sejalan dengan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. ”Saya akan buat area khusus demonstrasi di Jakarta, mirip seperti di London, lengkap dengan fasilitas toilet, bangku, dan tenda berpenyejuk udara,” kata Ahok, sapaan akrabnya.
Demonstrasi puluhan ribu buruh yang berlangsung Selasa kemarin membuat bus Transjakarta dari Blok M ke Jakarta Kota via Harmoni hanya beroperasi hingga Bundaran Hotel Indonesia. Para buruh memenuhi sepanjang Jalan M.H. Thamrin hingga depan Istana Negara. Polisi juga mengosongkan jalan sejak pukul 09.00 hingga 17.00. Pejalan terhambat, tapi pedagang untung berlipat. (Lihat Video: Ahok Ancam Pidanakan Pendemo yang Rusak Fasilitas Umum, Ahok: Ngurus Jakarta Enggak Usah Terlalu Pintar, Ahok Pamer Berbahasa Arab)
Para pedagang yang biasa mangkal di Monumen Nasional, Stasiun Dukuh Atas, Taman Menteng, dan Stasiun Gambir tumplek di sekitar area demonstrasi. Mereka meraup untung dua kali lipat dibanding hari biasa. Pada hari biasa, omzet pedagang cendol Rp 200 ribu, tapi kemarin mencapai Rp 500 ribu.
“Biasanya sampai pukul 3 sore baru laku setengah. Ini sudah habis,” ucap Rohimin, 55 tahun, pedagang es cendol.
DINI PRAMITA