TEMPO.CO, Yogyakarta - Merosotnya nilai tuar rupiah ikut memukul pengusaha buah impor. Pemilik supplier buah impor Matras Khatulistiwa Jaya di Jalan Wates, Ambarketawang, Gamping, Sleman, Fendy Budianto, mengatakan, telah mengurangi jumlah pembelian apel impor hingga 45 persen. “Dalam kondisi normal, kami mendatangkan sepuluh ton buah impor dari Amerika Serikat,” kata Fendy.
Apel yang dia impor berasal dari Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Cina. Sedangkan, distributor apel impor ke perusahaan Fendy dari Jakarta dan Surabaya. Sejak rupiah melemah dan masih tertahan di level Rp 14 ribu per dolar Amerika, permintaan apel impor juga terus berkurang hingga 30 persen ketimbang kondisi normal. “Pasar buah impor sedang lesu,” katanya, Rabu, 2 September 2015.
Fendy menyatakan perusahaannya belum melakukan pemutusan hubungan kerja sebagai salah satu cara untuk menekan biaya produksi. Untuk bertahan, Fendy memilih membatasi menjual buah impor dengan jumlah yang lebih sedikit.
Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta mengkhawatirkan terjadinya kelangkaan komoditas jika nilai tukar rupiah terus melemah. Kepala BPS DIY Bambang Kristianto mengatakan banyak perusahaan di Yogyakarta yang mengandalkan komoditas dan bahan baku impor.
Komoditas dan bahan baku impor yang banyak diimpor itu seperti kedelai, beras, daging sapi, jagung, susu, obat-obatan, dan bahan baku perusahaan garmen. “Bila rupiah terus melemah, harga komoditas semakin naik. Kelangkaan barang menjadi ancaman,” kata Bambang di Yogyakarta, Rabu, 2 September 2015.
Bambang mengatakan pemerintah harus bisa mengontrol harga kedelai impor agar tidak terjadi kelangkaan tempe dan tahu di pasaran. Bambang berharap nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa menguat lagi dan tidak terus melemah hingga menembus Rp 15 ribu per dolar. Meskipun begitu, ia menilai kondisi ekonomi saat ini, tidaklah seperti krisis ekonomi pada 1998.
Bambang menyatakan merosotnya nilai tukar rupiah memukul perusahaan tekstil yang mengimpor bahan baku seperti benang impor. Sebagian dari perusahaan itu mulai melakukan efisiensi dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja. Ada juga yang memilih untuk mengurangi jam kerja karyawan.
SHINTA MAHARANI