TEMPO.CO, Bandung - Wali Kota Bandung Ridwan Kamil pasrah dengan keputusan Presiden Joko Widodo yang membatalkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Namun, pria yang akrab disapa Emil ini masih berharap proyek tersebut masih bisa berlanjut.
"Bukan batal, kalau pakai APBN tidak memungkinkan. Tapi kalau B to B silakan," kata Emil, di Jalan Bima, Cicendo, Kota Bandung, Sabtu, 5 September 2015.
Kalaupun memang dibatalkan, lanjut Emil, pihaknya mendukung seluruh keputusan Presiden. Menurutnya, Pemerintah Kota Bandung hanya sebagai penerima manfaat.
"Itu kan rencana pemerintah pusat kita hanya terima manfaat. Kalau pemerintah pusat menyatakan belum memungkinkan, mau gimana lagi, kita ikut aja," jelasnya.
Dengan kebutuhan dana yang cukup besar, proyek tersebut sepertinya juga tidak mungkin diambil alih oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bandung. "Tidak bisa. Rp 70 triliun mending buat monorel dulu," ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, Presiden Joko Widodo memutuskan membatalkan proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Musababnya, ucap Darmin, jarak kedua kota yang mencapai 150 kilometer tak memungkinkan untuk ditempuh dengan kereta cepat.
Darmin menjelaskan, kecepatan kereta api cepat mencapai 300 kilometer per jam. Untuk jarak 150 kilometer, akan ada lima-delapan stasiun, sehingga jarak tiap stasiun mencapai 30 kilometer atau dengan waktu tempuh delapan menit. Sementara itu, kereta api cepat butuh waktu akselerasi untuk mencapai kecepatan 300 kilometer per jam.
Menurut dia, akselerasi tak akan dicapai dalam delapan menit. Untuk mencapai kecepatan 250 kilometer per jam, kereta cepat membutuhkan 14 menit. Jadi, sebelum mencapai kecepatan maksimum, kereta harus direm. “Kecepatan maksimumnya hanya 200-an kilometer," ucap Darmin di kantornya, Kamis malam, 3 September 2015.
Dengan pertimbangan teknis itu, ujar Darmin, Jokowi menyatakan negara tak perlu membangun moda transportasi kereta cepat. Indonesia cukup membangun infrastruktur kereta menengah berkecepatan 200-250 kilometer. Kereta jarak menengah diperkirakan berbiaya lebih murah 30-40 persen ketimbang proyek kereta cepat.
Darmin menuturkan, hasil penilaian konsultan pun menunjukkan banyak hal tak rinci dalam proposal yang diajukan Jepang dan Cina, seperti standar pemeliharaan. Pembangunan kereta cepat juga harus mempertimbangkan pengembangan wilayah sekitarnya. Faktor-faktor ini menjadi kerangka acuan guna membangun infrastruktur kereta cepat.
Jokowi, kata Darmin, meminta pembentukan tim khusus yang menyusun kerangka acuan itu.
"Setelah itu, Jepang dan Cina dipersilakan menyusun proposal baru," ucapnya. Ia tak menutup kemungkinan ada lebih dari dua negara yang tertarik membangun proyek kereta menengah. Skema pembangunannya tetap pada business-to-business.
PUTRA PRIMA PERDANA