TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan tak selayaknya pemerintah melakukan pembelian saham kembali atau buy back. Menurut dia, krisis ekonomi tak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan kebijakan moneter.
Langkah itu juga dinilainya tak tepat karena banyak menguntungkan investor asing. "Kalau yang dimaksud Pasar Senen atau Tanah Abang, saya setuju. Tapi, kalau pasar saham, 70 persen investornya asing," ucap Kalla dalam sambutannya pada acara bedah buku Reinventing Indonesia karya Ginandjar Kartasasmita di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Rabu, 9 September 2015.
Kondisi ini, ujar JK, berbeda dengan bursa saham di Cina yang 90 persennya dikuasai investor dalam negeri. JK meminta krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia dijadikan pengalaman.
Menurut dia, jika pemerintah terlalu condong pada kebijakan moneter, dikhawatirkan ekonomi Indonesia akan banyak unsur monopoli. Sebaliknya, jika menggunakan demokrasi terbuka, ekonomi akan lebih transparan. Kalla menilai yang harus dilakukan agar bisa keluar dari krisis adalah meningkatkan produktivitas pada sektor riil.
"Agar yang terjadi pada 1998 dan 2008 tak terulang, produk dalam negeri harus ditingkatkan," tuturnya. Dengan begitu, ketergantungan pada investasi asing menjadi berkurang. Indonesia tak boleh terjebak pada konsep yang menyatakan semua masalah ekonomi bisa selesai hanya dengan mengandalkan kebijakan moneter.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno sebelumnya mengatakan pemerintah akan membeli kembali saham atau buy back emiten pelat merah. Pembelian itu dilakukan kepada 13 perusahaan negara yang mengalami penurunan harga saham karena terimbas melemahnya ekonomi. Pemerintah menyiapkan dana Rp 10 triliun yang diambil dari dana pensiun, asuransi, dan kas internal badan usaha milik negara.
JK mengaku bukan sosok yang suka memanjakan pasar. Selain tak sepakat dengan buy back, dia pernah menolak memberikan penjaminan penuh terhadap dana deposan bank atau blanket guarantee saat krisis 2008. Padahal saat itu banyak pihak yang menyarankannya menjaga kondisi perbankan dalam negeri. Upaya itu hampir saja dilakukan pemerintah. Namun, pada saat-saat terakhir, dia menolak meneken keputusan tersebut.
JK menganggap penjaminan justru bisa memicu hancurnya ekonomi. "Ekonomi bisa hancur kalau menjamin sesuatu yang diakibatkan oleh perampokan," ujarnya. Bahkan dia menganggap penjaminan itu sama dengan melegalkan perampokan. "Kita menjamin bank asing, bank orang paling kaya, apa urusannya kita menjamin seperti itu."
FAIZ NASHRILLAH