TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berencana menghapus Pajak Bumi dan Bangunan. Kebijakan ini sedang dalam tahap pembahasan dan rencananya akan diterapkan tahun depan. "Tidak bayar sama sekali," ujar Basuki, di kantor Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Selasa, 8 September 2015.
Namun, menurut Basuki, warga Ibu Kota yang tak perlu membayar pajak adalah mereka yang tinggal di rumah susun atau rumah pribadi dengan nilai di bawah Rp 1 miliar. Langkah ini dilakukan pemerintah DKI, kata Basuki, untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat Jakarta yang penghasilannya pas-pasan. Apalagi situasi perekonomian yang sedang sulit seperti saat ini. "Kami bantu orang yang betul-betul membutuhkan. Tugas kami mengadministrasi keadilan sosial.”
Kepala Dinas Pajak DKI Agus Bambang Setyowidodo menyebut ada sekitar sejuta wajib pajak di Ibu Kota yang bakal menikmati kebijakan ini. Di sisi lain, dia memprediksi ada pengurangan pendapatan dari PBB sebesar Rp 400 miliar yang tidak lagi masuk ke kas daerah. "Sehingga target pajak bumi dan bangunan tahun depan juga diubah menjadi Rp 7,2 triliun (sebelumnya Rp 8 triliun)," kata Agus.
Adanya kebijakan ini, menurut Agus, tak perlu lagi ada pendataan dan penaksiran terhadap aset wajib pajak yang menerima kebijakan ini. Sebab, Dinas Pajak secara otomatis memasukkan sistem penghitungan bagi kelompok wajib pajak yang terkena pembebasan dalam sistem komputer.
Adapun tahun ini, kata Agus, realisasi penerimaan PBB sudah mencapai 73 persen. Ia optimistis target penerimaan dari sektor PBB bisa terealisasi. "Sekarang sudah mencapai sekitar Rp 6 triliun," kata dia.
Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Santoso tak sepakat dengan rencana pemerintah DKI tersebut. Pembebasan pajak rencananya bakal dikenakan pada wajib pajak yang membayar tarif 0,1 persen dan 0,01 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) . "Jangan dibebaskan karena itu menyumbang pendapatan daerah," kata Santoso.
Jika wajib pajak di kelompok tersebut diberi kebebasan, menurut Santoso, maka pendapatan daerah bisa berkurang signifikan. Seharusnya, kata dia, pemerintah DKI justru merevisi besaran tarif bagi pemilik NJOP di atas Rp 2 miliar dan Rp 10 miliar yang dikenakan mencapai 0,2 persen dan 0,3 persen dari NJOP. "Harapannya wajib pajak yang nilainya besar mau memenuhi tagihannya," kata dia.
Anggota Komisi Keuangan lainnya, Selamat Nurdin, meminta rencana kebijakan pembebasan PBB didiskusikan dengan lembaga legislatif. Sebab, hal itu menyangkut pendapatan daerah. Namun, pemerintah DKI juga wajib memperhatikan masyarakat yang keberatan dengan tarif pajak karena naiknya nilai jual obyek pajak secara signifikan. "Kajiannya harus detail, rigid, dan teliti," ujar Selamat.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional/Kementerian Agraria dan Tata Ruang Gunawan Muhammad mengatakan, penghapusan PBB belum berpayung hukum. "Hingga saat ini, kami masih mengkaji untuk menemukan formula yang tepat," kata Gunawan, saat dihubungi kemarin.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan telah melontarkan wacana penghapusan PBB. Ia menuturkan akan menghapus PBB untuk bangunan nonkomersial bagi masyarakat tak mampu. Penghapusan tersebut, kata dia, tak bertujuan untuk memangkas pemasukan negara. "Kami tak berniat mengubah tatanan, tapi logika negara ini ada yang salah," ujar Ferry, Maret lalu.
VINDRY FLORENTIN | RAYMUNDUS RIKANG | DINI PRAMITA