TEMPO.CO , Semarang - Lembaga Pengkajian dan Survei Indonesia (LPSI) Semarang menyatakan sebanyak 70,2 persen pemilih di Kota Semarang menilai politik uang atau materi dalam pilkada merupakan sesuatu yang wajar. Temuan ini berdasarkan hasil survey yang dilakukan LPSI di 16 kecamatan di Kota Semarang yang melibatkan 1.250 responden dengan teknik pengambilan sampel secara acak proporsional pada bulan ini.
“Hasil survey ini menunjukan masih kuatnya praktik politik transaksional baik di parpol maupun masyarakat. Ini sudah darurat karena uang menjadi segalanya,” kata Yulianto saat menjadi pembicara sarasehan “Optimalisasi Potensi Media Massa dalam Pilkada 2015” yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Tengah, Selasa (22 September 2015).
Parahnya lagi, kata Yulianto, para penerima politik uang itu sudah mengetahui bahwa praktik politik uang itu melanggar hukum dan norma sosial. Yulianto menyatakan temuan ini cukup mengejutkan karena politik uang yang sebenarnya merusak demokrasi justru dihalalkan para pemilih.
Baca juga:
Dilarang Pacaran Santri Ini Bawa Parang ke Ustaz, Lalu…
Wah Eva Celia Dapat Kejutan dari Vidi dan Ariel di Kamar Timur
Salah satu alasan pemilih mau menerima uang karena menganggap tidak ada perubahan kebijakan yang lebih baik setelah pelaksanaan pilkada. Bahkan, kata Yulianto, pemilih menganggap usai pilkada maka calon terpilih tidak bisa memberikan perubahan. “Sekalipun pemimpinya berganti-ganti,” kata Yulianto.
Dalam survey ini, LPSI juga menemukan mulai adanya independensi para pemilih saat menentukan pilihan politiknya. Prosentasenya, sebanyak 49 persen sudah menjadi pemilih otonom. Pemilih ini tidak terikat dengan tokoh masyarakat, parpol, atau orang lain.
"Karena otonom pula sehingga mereka juga punya keputusan sendiri atas pemberian uang dan materi dari calon," kata pengajar Ilmu Komunikasi Undip tersebut.
Yulianto berharap agar media massa sebagai ruang publik bisa menonjolkan berita-berita tentang bahaya praktik politik uang bagi demokrasi di Indonesia. Karena ada praktik politik uang maka hasil akhir dalam pilkada pasti tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Bendahara Partai Persatuan Pembangunan Jawa Tengah Ngainirrichadl mengakui fakta praktik politik saat ini memang sangat praktis dan pragmatis. “Bisa jadi karena kemiskinan masih tinggi maka masyarakat butuh yang praktis saja. Kondisi ekonomi yang melambat seperti saat ini mendorong masyarakat lebih pragmatis, tidak lagi ideologis,” katanya.
Ke depan, kata Ngainirrichadl, pendidikan politik ke pemilih harus terus ditingkatkan. Sebab, saat ini demokrasi di Indonesia juga masih dalam tahap transisi.
ROFIUDDIN
Baca juga:
Habis Disebut Tolol oleh Menteri, Gayus Dikepung 40 CCTV dan…
Terbongkar Rahasia Mengapa Messi Sering Gagal Eksekusi Penalti
Video Terkait: