TEMPO.CO, Jakarta - Gempa berskala 6,8 pada skala Richter di Sorong, Papua Barat, terhitung cukup besar dan merusak. "Besar intensitasnya sekitar V atau VI sehingga bisa dikategorikan sebagai gempa merusak,” kata pakar gempa dari kelompok peneliti Geodesi ITB, Irwan Meilano, Jumat, 25 September 2015.
Lindu itu, kata Irwan, mengingatkan akan kejadian gempa pada 4 Januari 2009 dengan skala magnitudo 7,6. “Gempa 2009 dengan yang kemarin memiliki mekanisme yang sama, yakni sesar naik,” ujarnya. Mekanisme gempa itu mengakibatkan ada blok batuan yang naik dan turun sepanjang garis patahan.
Irwan mengatakan lokasi gempa terbaru di Sorong sangat dekat dengan sesar Pulau Yapen-Sorong. Namun, melihat mekanisme gempanya, ada kemungkinan asal gempa bukan dari sesar tersebut. “Kemungkinan dari sesar Manokwari, sumber yang sama dengan gempa Januari 2009,” katanya.
Garis sesar Manokwari berada di laut, yakni di atas "kepala burung" Papua atau di bagian utara Sorong serta Manokwari. Berdasarkan hasil diskusi dengan pakar gempa lain dari Geoteknologi LIPI, Danny Hilman, garis sesar yang paling kiri dan agak menekuk ke bawah mengarah ke arah lokasi gempa kemarin.
Gempa tersebut akibat pergerakan dua lempeng. “Yang bertemu yaitu lempeng Laut Filipina dengan blok kepala burung Papua,” kata Irwan.
BMKG mencatat, pada Kamis, 24 September 2015, pukul 22.53 WIB, terjadi gempa dari kedalaman 10 meter di laut yang berjarak 31 kilometer arah timur laut Kota Sorong, Papua Barat. Berkekuatan magnitudo 6,8, intensitas gempa terkuat dengan skala IV-V terasa di Sorong atau terendah di Manokwari, yang berada di timur Sorong dengan instensitas gempa II-III.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Sorong dan BPBD Raja Ampat mencatat gempa bumi selama 15 detik di Kota Sorong itu menyebabkan 17 orang luka berat, 45 orang luka ringan, dan 200 rumah rusak.
ANWAR SISWADI