Pelaku Usaha Mobil Keluhkan Nilai Tukar Rupiah  
Reporter: Tempo.co
Editor: Saroh mutaya
Senin, 28 September 2015 17:56 WIB
Seorang SPG berdiri disamping mobil MG3 dalam acara Bangkok International Motor Show ke-36, di Bangkok, Thailand, 24 Maret 2015. Bangkok International Motor Show (BIMS) mengusung tema Art of Auto. Ada 36 APM dan 187 perusahaan otomotif serta aksesori yang menjadi peserta BIMS 2015. REUTERS/Chaiwat Subprasom
Iklan
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku usaha di bidang otomotif menilai nilai tukar rupiah yang kian terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat akan membuat pasar ke depan semakin sulit untuk pulih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

General Manager Marketing Strategy and Product Planning PT Nissan Motor Indonesia (NMI) Budi Nur Mukmin minilai, semakin terdepresiasinya rupiah tersebut semakin mengubur harapan pelaku industri terkait pulihnya pasar di semester II/2015.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penjualan mobil periode Januari-Agustus 2015 hanya 671.641 unit, atau merosot sekitar 19,1% dari kurun waktu yang sama tahun lalu yang sebanyak 830.096 unit.

“Tadinya pelaku industri berharap pasar akan rebound pada semester II/2015. Karena rupiah semakin terdepresiasi recovery pasar akan lebih panjang dan tidak akan terjadi di semester II tahun ini,” katanya, Minggu (27 September 2015).

Dia menilai dengan kondisi ekonomi seperti sekarang, di sisa waktu tahun ini total penjualan mobil per bulan bisa di kisaran 70.000 unit. Penjualan mobil pada Agustus sempat menyentuh 90.534 unit setelah pada bulan sebelumnya hanya mencapai 55.615 unit atau terkecil sepanjang tahun ini.

Sedangkan rerata penjualan mobil per bulan sepanjang delapan bulan pertama tahun ini mencapai 83.955 unit. Hal tersebut, lanjut dia, diperparah dengan suku bunga acuan bank sentral sebesar 7,5% yang tak kunjung diturunkan.

Padahal, lebih dari 50% konsumen segmen gemuk macam LMPV dan LCGC sebagai penopang penjualan, melakukan transaksi secara kredit.

“Orang menunggu dolar dan suku bunga turun untuk transaksi tapi tidak terjadi. Hal ini akan semakin membuat konsumen menahan pembelian,” ujarnya.

Dia berharap, dalam situasi seperti ini pemerintah melalui program ekonominya mampu membuat rupiah kembali menawan. Di sisi lain, pemerintah diharapkan dapat membuat iklim bisnis dan investasi lebih menarik dan bertahan lama.

Direktur Pemasaran dan Layanan Purna Jual PT Honda Prospect Motor (HPM) Jonfis Fandy menilai rupiah yang kian terdepresiasi membuat masing-masing pabrikan semakin waspada. Dengan keadaan seperti ini, lanjutnya, pelaku industri harus lebih ketat melakukan efisiensi.

Menurutnya, penurunan pasar saat ini sudah cukup besar. Jika pasar hingga akhir tahun kurang dari 1 juta unit, hal itu menandakan pelemahan yang parah di sektor otomotif.

Di sisi lain, hal ini semakin menyulitkan pelaku usaha mengingat persaingan semakin ketat. Akan tetapi harga harus disesuaikan ongkos produksi  sementara daya beli masyarakat masih menurun.

“Situasi saat ini semakin tidak mendukung, rupiah terhadap dolar Amerika Serikat semakin anjlok, pertumbuhan ekonomi belum membaik. Secara keseluruhan makro ekonomi belum pulih ini akan semakin menylitkan,” ujarnya.

Direktur Pemasaran PT Astra Daihatsu Motor (ADM) Amelia Tjandra mengatakan, tingginya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah ikut mempengaruhi daya beli  yang saat ini semakin tidak bergerak naik.  Menurutnya hal tersebut diperparah kondisi makro ekonomi secara keseluruhan yang belum membaik.

“Kami berharap pemerintah dapat menjaga nilai tukar rupiah tetap terkendali, menurunkan suku bunga acuan, dan menjaga pertumbuhan ekonomi sehingga menjaga daya beli masyarakat kembali naik. Kalau itu gak ada susah menjual produk karena daya beli itu sangat penting,” ujarnya.

BISNIS

Iklan

 

 

 

BERITA TERKAIT


Rekomendasi