TEMPO.CO, Yogyakarta - Status Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai Kota Batik Dunia yang disematkan oleh World Craft Council (WCC) pada 2014 terancam dicabut. Sebab, regenerasi pengrajin batik di Yogyakarta terhambat dengan sedikitnya minat masyarakat untuk menjadi pengrajin batik. Regenerasi adalah satu dari tujuh syarat pengukuhan Kota Batik Dunia.
“Gelar itu usianya hanya empat tahun. Kalau tidak bisa mempertahankan, ya, dicabut,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DIY Zainal Arifin Hasoead saat ditemui di kantor Dekranasda DIY, Rabu, 30 September 2015.
Tujuh kriteria itu adalah nilai historis, orisinalitas, upaya pelestarian melalui regenerasi, nilai ekonomi, ramah lingkungan, mempunyai reputasi internasional, serta persebarannya. Sedangkan jumlah pengrajin yang tercatat di Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi DIY ada 441 orang, baik pengrajin besar maupun kecil.
“Kalau perlu Pak Jokowi (Presiden) mengharuskan menteri-menterinya pakai batik, bukan jas lagi, sehingga menambah semangat orang menjadi pengrajin batik,” ujar Zainal.
Berbagai upaya tengah dilakukan untuk menggenjot jumlah pengrajin agar bertambah. Menurut desainer dan pengusaha batik, Afif Syakur, perlu ada kenaikan upah pengrajin hingga setara upah minimum kota atau kabupaten (UMK). Sebab, ada pengrajin rumahan yang mengerjakan proses batik di rumah berdasarkan pesanan. Ada pula yang bekerja pada pengusaha batik yang upah rata-ratanya sudah setara UMK.
“Yang rumahan itu ada yang satu kain dihargai Rp 2 juta tapi dikerjakan tiga bulan,” tutur Afif. Sebab, proses batik tulis memakan waktu lebih lama.
Kepala Dinas Pendidikan DIY Baskara Aji, yang merangkap sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi DIY, telah mewajibkan sekolah untuk menjadikan batik sebagai muatan lokal. Rata-rata sekolah menjadikan seni membatik sebagai kegiatan ekstrakurikuler.
Ada pula yang menjadi kurikulum, seperti di SMK Negeri 5 Yogyakarta dan SMK Batik di Tancep, Gunung Kidul. Sedangkan SMA Stella Duce mengharuskan siswanya mengenakan pakaian batik buatan sendiri. “Sebanyak 400 guru juga dikursuskan membatik,” ucap Baskara.
Dia mengakui pangsa pasar batik di Yogyakarta sedang menggeliat lagi. Bahkan sejumlah pengrajin telah memasarkannya hingga luar negeri. Omzet ekspor tekstil batik senilai US$ 36,53 juta, sedangkan ekspor pakaian batik mencapai US$ 11 juta.
PITO AGUSTIN RUDIANA