TEMPO.CO, Jakarta - Namanya pendek, Salim. Belakangan, ia populer dengan julukannya, Salim Kancil, setelah kisah hidupnya yang mengenaskan terungkap. Petani Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, ini tewas akibat sikap kerasnya menolak eksploitasi tambang di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Bapak dua anak ini ditemukan tewas mengenaskan di jalan desa, menuju makam. Sebelumnya ia sempat hilang diculik orang tidak dikenal, hanya sehari sebelum aksi penolakan penambangan pasir di area pertanian digelar. Dia mendapat siksaan sadis dari para preman seperti disetrum, dipukul, dan digergaji.
Menurut Tijah, istrinya. Salim adalah tipikal suami dan bapak yang pekerja keras. Hidup Salim Kancil dan istrinya sudah keras sejak dulu. "Suami saya petani. Dulu kerja keras menggarap sawah yang dulunya rawa-rawa yang kemudian diubah menjadi tanah sawah," kata Tijah.
Tijah menceritakan bagaimana susahnya semasa hendak menyiapkan rawa-rawa untuk kemudian diubah menjadi tanah sawah. Setelah kerja susah-susah, pada akhirnya sawah rusak karena tambang pasir.
Hidup mereka susah payah. Tijah menuturkan, jika pagi hingga siang mengurusi sawah tak berbentuk itu, malamnya Salim Kancil mencari bekicot untuk makan keluarga.
Masalah muncul setelah sawah rusak akibat tambang pasir. Salim Kancil akhirnya bergabung dengan teman-teman yang juga menjadi korban tambang pasir. "Aku berjuang ini," kata Tijah menirukan ucapan suaminya ketika awal-awal menolak tambang pasir.
Tijah mengatakan ketika pasir mulai ditambang, Salim Kancil dijanjikan uang oleh kepala desa sebagai ganti sawahnya yang dijadikan tempat kendaraan truk pengangkut pasir. "Hanya dikasih satu juta saja saat itu. Satu juga itu apa," katanya.
Kepala desa juga menjanjikan uang Rp 2 ribu untuk setiap dua rit truk pasir. "Ternyata hanya dijanjikan saja," katanya.
Hingga kemudian setelah beberapa waktu, Salim Kancil menagih janji Kepala Desa, Hariyono. Hariyono kemudian menyuruh Salim Kancil minta ke Desir. Tetapi kemudian oleh Desir disuruh minta ke Kepala Desa. Karena diperlakukan seperti itu, Salim kemudian tidak lagi bersedia untuk minta uang.
Akhirnya Salim Kancil tidak lagi meminta uang karena merasa seperti pengemis saja kalau tetap ngotot mau minta uang sama Kepala Desa ataupun Desir. "Akhirnya saya dan suami kerja apa adanya. Suami cari ikan dan saya yang jualkan. Saya jual komak (semacam kacang-kacangan)," katanya.
Hasilnya disisihkan sedikit demi sedikit untuk membeli jaring ikan. Hingga akhirnya, saat melihat kerusakan sawah yang semakin parah, Salim memutuskan untuk bergabung menolak tambang.
Kendati aktif menolak tambang, sekalipun Salim tidak pernah untuk ikut pergi ke Jakarta untuk mengadukan nasibnya. "Tidak punya uang untuk ke Jakarta," kata Hamid, rekan Salim sesama warga penolak tambang.
DAVID PRIYASIDHARTA
Baca juga:
Kisah Salim Kancil Disetrum, Tak Juga Tewas: Inilah 3 Keanehan
Kasus Salim Kancil, Ini Indikasi Polisi Ikut Bermain