TEMPO.CO, Lumajang - Seorang aktivis penolak tambang asal Desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Kabupaten Lumajang bernama Salim tewas pada Sabtu (26/9) kemarin. Salim yang akrab dipanggil Kancil ini tewas dikeroyok 30-an orang. Awalnya, dia dipukuli di halaman rumahnya sebelum kemudian diseret ke Balai Desa Selok Awar-Awar. Dari balai desa, pelaku membawa Salim ke jalan menuju makam desa.
Abdul Hamid, sahabat Salim menuturkan, julukan kancil sudah melekat sejak Salim masih kecil. "Dia dikenal pelari paling cepat di kampung," kata Abdul, seperti dikutip dari Majalah Tempo, Senin, 5 Oktober 2015. "Dia anaknya lincah dan gesit."
Abdul mengenang perawakan Salim yang kecil juga menjadikan julukan Kancil semakin pas melekat. Bahkan, dalam setiap unjuk rasa Salim selalu paling berani dan ada di depan. "Dari kecil sudah berani dan bandel, makanya dipanggil kancil," katanya.
Salim dan kawan-kawannya sudah beberapa bulan terakhir ini menentang keberadaan tambang pasir yang dikuasai oleh Kepala Desa Selok Awar-Awar, Hariyono sejak awal tahun lalu. Dalam sehari ratusan truk wara-wiri di desa itu mengangkut pasir dari Pantai Watu Pecak.
Alhasil, sawah warga rusak termasuk milik Salim. "Tambang menyebabkan abrasi sehingga air laut masuk ke sawah," kata Abdul. Makanya, Salim beberapa kali menggalang dukungan warga menolak keberadaan tambang. Terakhir mereka bahkan memblokir jalan masuk truk.
Hariyono ditengarai mendapat untung ratusan sampai miliaran dari bisnis gelap ini. Bayangkan saja, ia memungut Rp 275 ribu per truk pasir yang akan menambang dari pantai. Uang tersebut masuk ke kantong pribadinya. Bahkan, dia memiliki centeng pribadi bernama tim 12.
Tim 12 ini pun mendapat keuntungan Rp 50 ribu per truk yang masuk ke kawasan tambang. Bahkan tim 12 ini lah eksekutor Salim.
TIM MAJALAH TEMPO