TEMPO.CO , Semarang: Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Tengah mencatat sudah ada 2.000 pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketua Apindo Jawa Tengah Frans Kongi menyatakan PHK itu terjadi sejak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
“2.000 korban PHK itu yang melapor ke Apindo,” kata Frans Kongi kepada Tempo di Semarang, Kamis, 8 Oktober 2015.
Frans menengarai jumlah pekerja/buruh yang di-PHK lebih dari 2.000 orang. Sebab, menurut Frans, bisa jadi ada banyak perusahaan yang kinerjanya melambat dan melakukan PHK tapi mereka tidak melapor ke Apindo.
Frans enggan menyebut apa saja perusahaan yang rugi sehingga harus melakukan PHK itu. Ia hanya menyebut perusahaan yang melakukan PHK itu ada di Semarang, Boyolali, dan Karanganyar. Perusahaan itu rata-rata bergerak di bidang tekstil dan baja.
Selain itu, Frans menambahkan, ada juga perusahaan yang harus tutup akibat ekonomi yang melambat. “Ada 4 perusahaan yang tutup,” kata Frans.
Menurut dia, ekonomi Indonesia saat ini masih sangat melambat. Rangsangan kebijakan yang dilakukan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla belum mampu menolong.
Di sisi lain, saat ini Apindo juga masih melakukan upaya penekanan usulan upah minimum kabupaten/kota yang diajukan pemerintah kabupaten/kota ke Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Tengah. Frans memdesak agar UMK 2016 kenaikannya tak lebih dari 5 persen.
Kalangan buruh kecewa atas nominal usulan upah minimum kabupaten/kota 2016 yang diusulkan pemerintahan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Wilayah Jawa Tengah Eko Suyono menyatakan kenaikan upah 2016 dari kabupaten/kota sangat minim. “Upah buruh 2016 akan sangat terpuruk. Rata-rata, kenaikan upah 2016 hanya di bawah 10 persen,” kata Eko.
ROFIUDDIN