TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Riau, Intsiawati Ayus, mendukung wacana pemerintah Malaysia yang akan menggugat perusahaan pembakar lahan di Indonesia. Alasannya, kata Intsiawati, kebanyakan pemilik korporasi pembakar hutan justru berasal dari Negeri Jiran tersebut.
"Saya senang ada wacana itu, sebab 70 persen pemilik perusahaan pembakar justru orang Malaysia," kata Instiawati, dalam diskusi di Restoran Gado-gado Boplo, Jakarta, Sabtu, 10 Oktober 2015. Dengan gugatan itu pemerintah Malaysia akan tahu duduk persoalannya dan tak sekadar menyalahkan Indonesia.
BERITA MENARIK
Andrew Senang Bakal Punya Organ Intim dari Otot Lengan
Aneh, Warga Desa Ini Anggap Toilet bak Tuhan, dan Disembah
Malaysia dan Singapura bereaksi keras terhadap kebakaran hutan di Indonesia. Selain melalui sosial media, pemerintah kedua negara juga dikabarkan menggugat perusahaan pembakar lahan. Bahkan, Singapura telah melayangkan somasi kepada lima perusahaan yang dianggap melakukan pembakaran.
Selain mendukung upaya gugatan, Intsiawati juga meminta agar pemerintah melakukan moratorium pembukaan lahan perkebunan. Jika tidak, bencana asap yang saat ini tengah mengepung Kalimantan dan Sumatera sangat mungkin merembet ke Papua dan Sulawesi lima tahun mendatang.
Parahnya kebakaran yang saat ini terjadi Sumatera dan Kalimantan, menurut Instiawati, juga tak lepas dari lemahnya kontrol pemerintah daerah. "Tujuh tahun lalu saya bilang ada moratorium, tapi tak dilakukan pemerintah di Kalimantan dan Sulawesi. Akhirnya sekarang jadi seperti ini," ujarnya.
BACA JUGA
Pria Ini Tolak Rp 370 Juta demi Rp 100 Juta untuk Burungnya
Ulama Arab Saudi Serukan Muslim Dunia Jihad Lawan Rusia
Seharusnya, kata Instiawati, setiap ada pembukaan lahan perkebunan, perusahaan mesti menyerahkan rencana kegiatan tahunan kepada pemerintah. Rencana inilah yang kemudian dikontrol oleh dinas-dinas terkait di daerah. "Kapan buka lahannya, kapan menanamnya. Tapi ini tak ada."
Selain sudah menimbulkan bencana besar, moratoriunm juga harus dilakukan karena perkebunan sawit saat ini kebanyakan sudah beroperasi sejak 1980-an dan sudah melakukan tanam ulang atau replanting kedua. Atas asumsi ini, Instiawati menilai perusahaan perkebunan sudah tak layak mendapat perpanjangan lagi.
FAIZ NASHRILLAH
BERITA MENARIK
CEO: Jika Priv Gagal, BlackBerry Tinggalkan Bisnis Ponsel
Ahok Setuju Para Koruptor Diampuni, Ini Syaratnya