TEMPO.CO, Jakarta - Persekutuan Gereja-gereja Indonesia menyesalkan kerusuhan di Kabupaten Aceh Singkil berupa pembakaran dua bangunan gereja pada Selasa siang, 13 Oktober 2015. Padahal, PGI menegaskan sudah ada kesepakatan antar para tokoh masyarakat untuk melakukan pembongkaran gereja secara damai pada 19 Oktober 2015 mendatang.
"Mereka (massa intoleran) mendesak pemerintah agar gereja yang tidak memiliki izin dibongkar," kata Jeirry Sumampow, juru bicara PGI, dalam konferensi pers di gedung Oikoumene, Jakarta Pusat, pada Selasa, 13 Oktober 2015.
Insiden ini sebenarnya tak perlu terjadi karena sehari sebelum kerusuhan, Bupati Aceh Singkil Safriadi, Musyawarah Pimpinan Daerah, organisasi masyarakat Islam serta tokoh masyarakat sudah mencapai kesepakatan damai.
Dalam perjanjian yang disepakati tokoh masyarakat, ada klausul untuk melakukan pembongkaran 10 gereja di Aceh Singkil dalam kurun waktu dua pekan yang akan dimulai pada 19 Oktober 2015. Sedangkan rumah ibadah yang tidak dibongkar harus mengurus izin dengan tenggat waktu selama enam bulan.
Kesepakatan itu juga menegaskan kewajiban tokoh ulama untuk menenangkan umat agar tidak terjadi hal diinginkan.
Ke depan, kesepakatan itu menegaskan bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Hasil kesepakatan tersebut akan disosialisasikan Muspida di Masjid Lipat Kajang Bawah, Kecamatan Simpang Kanan, pada Senin 12 Oktober 2015 malam.
"Walau sudah dicapai kesepakatan, terjadi penyerangan oleh massa intoleran pada 13 Oktober," kata Jeirry.
Situasi yang memanas di lapangan sudah terasa sejak dua bulan lalu. Karena itulah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah turun ke Aceh Singkil untuk mendorong mediasi. "Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil sepakat mencari penyelesaian permanen dengan cara mengupayakan pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (untuk gereja-gereja di sana--)," kata Imdadun Rahmat, komisioner Komnas HAM. Namun kesepakatan tersebut, menurut Imdadun, belum terealisasi karena kalah cepat dengan aksi kelompok intoleran.
FRISKI RIANA