TEMPO.CO, Jakarta - Isu adanya lobi untuk memuluskan pertemuan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dengan Presiden Joko Widodo ditanggapi guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana.
Hikmahanto menilai artikel yang ditulis Michael Buehler, dosen ilmu politik Asia Tenggara pada School of Oriental and African Studies di London, tidak tepat informasi. Buehler mengungkapkan melalui artikelnya berjudul “Waiting in the White House Lobby” yang dipublikasikan dalam situs New Mandala, Jumat, 6 November 2015. (Lihat video Dialog di Amerika, Jokowi Minta Menteri Jawab Pertanyaan)
Menurut Hikmahanto, artikel Michael yang didasarkan pada dokumen Services Agreement antara Pareira International Pte Ltd dan R&R Partners banyak yang tidak tepat. "Informasi yang disampaikan digabung dengan ilmu mencocokkan," kata Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 8 November 2015.
SIMAK: Dokumen Ini Beberkan Biaya Jasa Lobi Pertemuan Jokowi-Obama
Pertama, menurut Hikmahanto, dalam dokumen itu, tidak ada satu kata pun yang merujuk pada pemerintah Indonesia. Kedua, dokumen itu tak menyebutkan bagaimana hubungan antara Pareira International Pte Ltd dan pemerintah Indonesia. Namun Michael Buehler menyimpulkan dalam dokumen ini seolah lobi itu atas permintaan pemerintah Indonesia. "Padahal bisa saja Pareira International Pte Ltd disewa oleh pebisnis Indonesia," ujar Hikmahanto.
Ketiga, rujukan terkait dengan ruang lingkup kerja dari lobbyist (yang disebut dalam perjanjian sebagai konsultan) tidak merujuk pada pertemuan Presiden RI dengan Presiden AS.
Hikmahanto menjelaskan, dalam ruang lingkup perjanjian, ada tiga hal. Pertama, mengatur pertemuan dengan para pejabat, baik di legislatif maupun pemerintah. Kedua, menyampaikan isu-isu saat legislatif dan pemerintah (joint sessions) bertemu. Ketiga, mengidentifikasi dan bekerja dengan tokoh berpengaruh di Amerika Serikat.
"Ruang lingkup pekerjaan ini seolah berkaitan dengan kunjungan Presiden Jokowi ke AS," tuturnya.
BACA: Bayar Lobi Obama US$ 80 Ribu, Ini Imbalan untuk Jokowi
Hikmahanto mengatakan kemungkinan Michael Buehler merangkai artikelnya antara Services Agreement dan informasi yang didapat dari berbagai pihak dari Indonesia. Atas dasar ini, argumentasi yang hendak disampaikan adalah Presiden Jokowi tidak memegang kendali terhadap pemerintahan. "Padahal apa yang disampaikan oleh Michael banyak spekulasinya dan bertentangan dengan norma diplomasi antarnegara," ucapnya.
Pertama, untuk kunjungan antara kepala pemerintahan dan kepala negara tidak dikenal brokeruntuk mempertemukan. Semua diatur melalui channel-channel diplomatik dan pemerintahan. "Kedua, cerita tentang ketidakharmonisan antara Menkopolhukam dan Menlu tidak didasarkan pada analisis ilmiah, melainkan gosip-gosip politik yang mungkin didapat oleh Michael dari media dan teman-temannya di Indonesia," katanya lagi.
Ketiga, adalah prematur bila Michael mengaitkan Pareira disewa oleh pemerintah Indonesia. Sebab, bila melihat Services Agreement, tidak ada rujukan kata “pemerintah Indonesia”.
BACA:
Menteri Luhut: Indonesia Punya Pelobi di Amerika, tapi...
Ini Tantangan Luhut untuk Pengunggah Dokumen Lobi Jokowi
Untuk itu, pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar Indonesia di Inggris dapat meminta klarifikasi dari Michael. "Klarifikasi ini bisa diminta melalui universitas di mana Michael bekerja. Ini perlu dilakukan karena dapat mempengaruhi kredibilitas universitas tersebut, meski Michael mempunyai kebebasan akademis," ujar Hikmahanto.
Seperti diberitakan sebelumnya, muncul tudingan adanya upaya lobi dari pihak tertentu sebelum Presiden Joko Widodo bisa bertemu dengan Presiden AS Barack Obama di Gedung Putih. Dikabarkan bahwa sebuah perusahaan konsultan Singapura telah membayar US$ 80 ribu atau setara Rp 1 miliar kepada sebuah firma pelobi asal Las Vegas untuk membantu Presiden Joko Widodo mendapatkan akses ke Gedung Putih, dalam muhibah Jokowi ke Amerika Serikat pada akhir Oktober lalu.
BISNIS.COM