TEMPO.CO, Den Haag - Pengadilan Rakyat Internasional yang digelar di Den Haag, Belanda, sejak kemarin mengundang beragam komentar. Seorang saksi yang dihadirkan dalam pengadilan itu gembira karena pengadilan ini membuka mata masyarakat internasional dengan apa yang terjadi di Indonesia pasca-30 September 1965.
“Terima kasih atas dibukanya masalah ini dalam pengadilan,” kata salah seorang saksi persidangan yang datang dari Surakarta, Martono, Selasa petang, 10 November 2015. “Dunia (jadi) memperhatikan pelanggaran berat.”
Sebelumnya, Martono, 83 tahun, memberikan kesaksian dalam persidangan untuk dakwaan pembunuhan. Ia mengisahkan bagaimana ia dipaksa tentara membawa mayat setiap hari untuk dibuang ke Bengawan Solo, pasca-tragedi 30 September 1965. Ia adalah salah satu saksi yang bersedia memberikan kesaksian terbuka. Sebagian saksi lain dalam persidangan memberikan kesaksian dari balik tirai hitam yang ditempatkan di sebelah kanan meja tujuh hakim, juga menggunakan nama samaran.
Hal sama diungkapkan saksi ahli, Leslie Dwyer, dari Princeton University, yang melakukan penelitian di tragedi pasca-30 September 1965 di Bali. Dunia, menurut dia, tidak banyak tahu dengan peristiwa 30 September 1965 dengan segala buntutnya. Berbeda dengan kasus-kasus pelanggaran berat lain, dokumen holocaust yang menelan korban jutaan orang Yahudi, juga tragedi di Rwanda. “Kita hanya tahu sedikit tentang Indonesia,” katanya. Selain itu, dengan terbukanya masalah ini, generasi masa depan Indonesia pun bisa belajar.
PURWANI DIYAH PRABANDARI (DEN HAAG)