TEMPO.CO, Jakarta - Ahli Bidang Oceanografi Institut Pertanian Bogor Alan F. Koropitan menilai reklamasi teluk Jakarta menyebabkan melemahnya sirkulasi arus di tengah teluk Jakarta. Selain itu,reklamasi mengakibatkan semakin lamanya sirkulasi air mencuci bahan pencemar yang masuk dari daratan.
“Faktanya data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, tidak ada reklamasi arusnya masuk keluar. Setelah ada reklamasi, arus jadi lebih kecil sehingga cenderung erosi dan pulau kecil bisa hilang,” kata dia di kantor Lembaga Hukum Jakarta pada Rabu, 11 November 2015.
Selain itu, Alan mengatakan dampak dari reklamasi akan mengancam kondisi keanekaragaman hayati laut Indonesia. Organisasi kesehatan dunia, kata dia, memprediksi bahwa obat alami di masa mendatang sebanyak 70 persen diambil dari laut karena memiliki senyawa yang yang dibutuhkan mengobati penyakit. “Kalau ada reklamasi, keanekaragaman hayati laut itu bisa selesai,” kata Alan.
Persoalan reklamasi bukan hanya mengganggu ekosistem laut, melainkan konflik sosial. Logikanya sederhana, Alan mengatakan proses reklamasi pasti membutuhkan material seperti pasir untuk menutup perairan. Di satu sisi, kata dia, muncul konflik dari para nelayan yang menolak reklamasi tetapi di sisi lain penduduk di daerah tertentu yang diambil pasirnya sebagai bahan reklamasi juga pasti menolak.
“Kalau dipaksakan diambil dari pulau-pulai kecil, itu akan menciptakan masalah baru, bisa kucing-kucingan ambil pasirnya,” ujar Alan.
Reklamasi, kata Alan, hanya akan menyumbat sirkulasi arus di muaranya. Setelah itu terjadi pengerasan tanah di muara dan menghalangi debit air dari hulu yang bisa berpotensi banjir. Alan mengimbau agar pemerintah DKI Jakarta melakukan upaya restorasi dibanding reklamasi. “Bersihkan sungai, keruk sedimennya yang mengendap dari tahun 1970-an, lalu biarkan pemulihan sendiri. Itu bisa memperbaiki ekosistem pesisir kita,” kata Alan.
DANANG FIRMANTO