TEMPO.CO, Jakarta - Dari laut, penduduk Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, belajar tentang filsafat kehidupan. Banyak pepatah dan prinsip hidup Sangir diambil dari fenomena di laut. Salah satunya berbunyi begini: "Pantuhu makasalentiho, somahe kaikehage." Artinya kira-kira: karena meluncur dibawa arus, jadi gemar menantang badai. Maknanya, kejelian memantau sesuatu yang mudah akan menjadi modal untuk menghadapi kesulitan.
Bukan hanya pepatah tentang laut, orang Sangir bahkan memiliki sasahara, bahasa khusus yang hanya dipakai di laut. "Sasahara adalah bahasa simbolis kebaharian yang dominan dipakai para nelayan ketika sedang melaut," kata Makasar. "Bahasa ini muncul karena mereka ingin menghormati penguasa laut. Harus bertutur halus di hadapan mereka," ujar Niklas Mahare, budayawan Sangihe.
BACA JUGA:
VIDEO: Bukti Kepulauan Sombori Seindah Raja Ampat
WISATA PANTAI: Ling Al, Pantai Sebening Kaca di Alor
WISATA PANTAI: Pulau-pulau Ini Cocok buat Kabur dari Medsos
WISATA PANTAI: Serunya Menombak Ikan di Laut Majene
Masyarakat bahari Sangihe percaya bahwa laut dikuasai Mawendo. Di hadapannya harus dijaga dua hal: peli atau sesuatu yang tabu dan mateling (kesakralan laut). Salah satu cara untuk menjaga keduanya adalah memelihara budi bahasa.
Misalnya, dalam bahasa Sangihe darat, utara disebut sawenahe, tapi di laut mereka menyebutnya mamenongkati. Perahu di darat dibilang sakaeng, tapi saat di laut mereka menyebutnya pato. Sedangkan cadik di masyarakat umum dikenal dengan sema-sema, tapi di laut mereka menyebutnya sahemang.
QARIS TAJUDIN
Ikuti liputan khusus wisata pantai di sini.