TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis Papua Merdeka, Filep Jacob Semuel Karma, mengambil sikap terhadap pembebasan paksa dirinya dari Lembaga Pemasyarakatan IIA Abepura, Papua, pekan lalu.
Filep menyatakan ia tetap berpegang pada surat yang diberikan kepadanya pada 15 Agustus 2015, yang isinya adalah penolakan terhadap semua pemberian remisi sejak masuk lembaga pemasyarakatan (lapas) 2004 sampai saat ini.
“Saya dipaksa masuk penjara dengan surat keputusan yang tidak jelas dan dipaksa keluar dengan surat yang tidak jelas pula. Negara Kolonial Rasialis Indonesia telah berupaya menghancurkan kredibilitas saya dengan berbagai cara demi pencitraan dan wibawa Pemerintah Negara Kolonial Rasialis Indonesia,” kata Filep melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 30 November 2015.
Filep menilai, perilaku aparatur negara yang dilakukan terhadapnya merupakan cermin perilaku pemerintah dan negara. Pembunuhan dan perlakuan yang terjadi secara sewenang-wenang terhadap rakyat Papua selama 54 tahun, kemudian pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), Kasus Talangsari, Kasus Tanjung Priok, pembunuhan Munir, pembunuhan Marsinah, dan kasus lumpur Lapindo dianggapnya bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah yang kejam dan tidak beradab terhadap rakyat jajahannya maupun rakyatnya sendiri.
“Pembebasan saya ini bukanlah itikad baik atau kebijakan pemerintah kolonial rasialis Indonesia, seperti disebutkan oleh Paulus Waterpauw, Kapolda Papua yang saya anggap sebagai antek penjajah di atas Tanah Papua. Pembebasan saya ini terjadi karena tekanan internasional terhadap negara kolonial rasialis Indonesia, yang terus-menerus melakukan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat jajahannya di West Papua maupun rakyatnya sendiri,” kata Filep.
Filep menilai sudah seharusnya Kapolda Papua Paulus Waterpauw bertanggung jawab menangkap para orang tak dikenal (OTK) maupun aparat pelaku penembakan masyarakat sipil, yang terus-menerus membunuh rakyat Papua, daripada mengurus ideologi pembebasan Papua yang dia yakini. “Ideologi itu tak akan pernah mati!” ucap Filep.
Filep mencatat, pada 8 Desember 2014, belasan orang tertembak di Enarotali, Paniai, Papua, ketika menanyakan penganiayaan dua pemuda yang diduga dilakukan oknum anggota TNI. Empat pemuda tewas dalam insiden ini.
Kemudian, Juli lalu, seorang pelajar sekolah menengah pertama (SMP), Yoteni Agapa, tewas ditembak aparat keamanan di Ugapuga, Dogiyai. Sedangkan, Melianus Mote terluka akibat tikaman sangkur di tangannya.
Pada 17 Juli 2015 di Tolikara, ketika insiden salat Ied Idul Fitri, Endi Wanimbo (15) tewas tertembak dan belasan orang lainnya terluka. “Sebagian besar korban luka adalah anak-anak berusia sekolah,” tutur Filep.
Pada awal Agustus lalu, enam anggota Brimob
Pada awal Agustus lalu, enam anggota Brimob juga menyerang seorang pemuda hingga tewas. Sebelum ditembak, korban sempat mengalami penganiayaan. Aksi penembakan yang terjadi di Koperapoka, Timika, akhir Agustus ini juga menewaskan dua pemuda, yakni Herman Mairimau dan Yulianus Okoware serta melukai lima lainnya.
Selanjutnya, terjadi penembakan di Gorong-Gorong, Timika, sehingga menewaskan Kaleb Bagau dan melukai Fernando Saborefek. “Sepuluh pemuda bangsa Papua tewas ditembak dalam waktu 10 bulan. Ini yang harus diurus oleh Saudara Paulus Waterpauw,” kata Filep.
Saat ini Filep mengaku masih dalam masa adaptasi dan pemulihan setelah dikeluarkan dari Lapas Abepura. Dalam waktu dekat, ia akan melakukan medical check-up untuk memeriksa kondisi fisiknya. Namun Filep menegaskan perjuangan hak asasi manusia dan hak kebebasan menyampaikan pendapat secara damai tetap akan dilakukan.
“Saya tidak pernah takut dan mundur dari hukuman penjara sebesar apapun demi cita-cita pembebasan dan kemerdekaan bangsa dan negara saya, West Papua,” kata dia.
Filep--begitu dia sering disapa--ditahan sejak 2004 setelah divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jayapura karena kasus makar. Filep divonis bersama rekannya, Yusak Pakage, yang dihukum 10 tahun bui. Keduanya ditangkap polisi pada 1 Desember 2004, setelah memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura, Kota Jayapura, Papua. Pada Rabu, 18 November 2015 lalu, Filep dibebaskan. Namun Filep sendiri mencurigai tindakan yang dilakukan terhadapnya tersebut.
Mengenai penjelasan Filep, Tempo sedang mengupayakan meminta penjelasan dari Kapolda Papua maupun juru bicara Polda Papua.
Sebelumnya, Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) I Wayan Dusak yang dihubungi Tempo pagi ini menjelaskan, keputusan pembebasan eks tapol Papua dilakukan Kepala Kanwil Kemenkumham Papua. "Bukan dari Dirjen. Dirjen hanya mengikuti undang-undang," kata Dusak.
Penjelasan lebih rinci, Dusak meminta Tempo menghubungi Kanwil Kemenkumham Papua.
LARISSA HUDA | MARIA RITA