TEMPO.CO, Bekasi - Ketua Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia, Dwi Ranny Pertiwi Zarman, mengatakan, industri jamu sempat terkena dampak akibat melemahnya nilai rupiah beberapa waktu lalu. Bahkan omzet penjualan menurun hingga 20 persen. "Daya beli masyarakat turun drastis," kata Ranny kepada Tempo di Bekasi, Selasa, 1 Desember 2015.
Namun setelah rupiah mulai menguat, industri jamu berangsur normal seperti sebelumnya. Dalam setahun terakhir, kata Ranny, omzet penjualan jamu di Indonesia mencapai sekitar Rp 15 triliun. Omzet tersebut terus tumbuh dari tahun ke tahun. "Pasar semakin menerima produk jamu Indonesia," katanya.
Agar jamu tetap eksis, Ranny berujar, pihaknya meminta kepada pengusaha jamu mulai dari pengusaha kecil hingga besar selalu menjaga kualitas. Selain itu, GP Jamu intensif memantau perkembangan setiap anggotanya di wilayah-wilayah. "Khususnya usaha-usaha kecil agar usahanya tetap berjalan."
Langkah tersebut dilakukan karena semakin ketatnya regulasi soal pembuatan jamu. Salah satu langkah GP Jamu ialah memberikan bantuan berupa 100 tong penyimpan ekstrak jamu atau bahan jamu yang baru dihaluskan di Koperasi Jamu Indonesia, Sukoharjo, Jawa Tengah. "Tong sebetulnya sudah ada, tapi stok lama sehingga harus diganti," kata Ranny.
Tong yang diberikan, menurutnya, mayoritas berkapasitas 25 kilogram dilengkapi dengan penutup yang cukup rapat. Dengan demikian, jamu yang tersimpan tak mudah terkontaminasi. "Jangka waktu penyimpanan maksimal sepekan, kemudian diolah lagi dengan ektrak lain, lalu dikemas untuk dijual ke pasaran," Ranny berujar.
Baca Juga:
Ranny menambahkan, sejumlah kendala yang dialami pengusaha kecil antara lain perpanjangan izin edar produk masih dipusatkan di Jakarta sehingga untuk wilayah yang jauh dari Jakarta harus mengeluarkan biaya mondar-mandir yang tinggi. "Ini cukup memberatkan."
Selain itu, ujar Ranny, petugas penerima berkas atau evaluator dari berkas yang masuk, kadang memiliki persepsi yang berbeda baik di pusat maupun wilayah. Hal ini diperparah bila terjadi penggantian petugas karena persepsi bisa berbeda lagi. "Belum sama cara memahami peraturannya," kata Ranny.
ADI WARSONO