TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Staf Presiden Teten Masduki memastikan Presiden Joko Widodo tak akan tinggal diam apabila ada upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pembahasan revisi Undang-Undang KPK di Dewan Perwakilan Rakyat. Revisi beleid KPK dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional 2015.
"Bisa saja nanti presiden tak meneruskan pembahasan atau tak mengeluarkan ampres (amanat presiden) apabila memang merasa akan melemahkan KPK," ujar Teten di kantornya, Minggu, 13 Desember 2015.
Jokowi, kata Teten, sejak awal sudah menjelaskan revisi dimaksudkan untuk memperkuat KPK, bukan melemahkan. "Ini yang harus diperhatikan oleh teman-teman DPR yang memiliki inisiatif merevisi undang-undang ini," ujar Teten.
Revisi Undang-Undang KPK sempat mencuat awal Oktober lalu. Saat itu, DPR mengusulkan merevisi beberapa pasal. Sebulan kemudian, revisi tersebut muncul lagi yang ditengarai sebagai barter pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly untuk meloloskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak.
Dalam pasal-pasal usulan DPR, KPK lebih difungsikan untuk pencegahan, bukan penindakan korupsi. Kedua, masa tugas KPK dibatasi 12 tahun sejak aturan ini diundang-undangkan. Ketiga, KPK hanya bisa menangani kasus korupsi dengan nilai kerugian minimal Rp 50 miliar. Keempat, mengangkat empat orang dewan eksekutif yang bertugas sebagai pelaksana harian pimpinan KPK.
Kelima, menghapus kewenangan penuntutan. Keenam, penyelidik KPK harus atas usulan kepolisian dan kejaksaan. Ketujuh, penyadapan harus seizin ketua pengadilan negeri. Kedelapan, KPK diberi kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dalam undang-undang saat ini, KPK tak boleh mengeluarkan SP3.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah berjanji mengawal revisi beleid ini hanya fokus pada sejumlah poin, antara lain masalah pengawasan, penghentian penyidikan bagi tersangka yang meninggal dunia, dan penyidik independen.
TIKA PRIMANDARI