TEMPO.CO, Bogor - Bagi anda para penggemar trekking (jelajah alam), tentu menyukai medan yang tidak monoton. Sebuah rute yang terdiri dari beragam tantangan: ladang, sawah, menyeberangi sungai, pedusunan, hingga tanjakan-tanjakan pebukitan. Jika ya, maka jalur Curug Bidadari di desa Bojong Koneng hingga ke Gunung Pancar (keduanya di wilayah Kabupaten Bogor) layak dicoba. Ini sekaligus bisa menjadi pilihan berbeda untuk mengisi liburan anda.
Tempo bersama seorang rekan menjajal jalur tersebut pada Senin (21/12) lalu. Perjalanan dimulai lewat tengah hari dari Curug Bidadari Sentul Paradise Park yang dulunya bernama Curug Bojongkoneng. Untuk masuk ke kawasan wisata curug dengan sajian utama air terjun ini mesti menebus tiket seharga Rp 25 ribu.
Etape pertama dari perjalanan ini adalah menuju dusun Cibingbin. Kami menyusuri jalan setapak yang dimulai dari bagian ujung area curug menuju ladang-ladang luas. Cuaca sedikit mendung saat itu, dan udara terasa dingin menyegarkan. Tak banyak tanjakan dan turunan yang curam di rute ini. Meski demikian berjalan secara santai sangat disarankan karena ini baru tahap awal seluruh penjelajahan.
Medan yang berselang-seling antara ladang dan persawahan menjadikan panorama sekeliling tidak membosankan. Belum lagi bonus menyeberangi kali lewat jembatan bambu, kian melengkapi unsur petualangan ringan hari itu. Tetapi pejalan seyogyanya juga tetap waspada dengan kemungkinan penghuni asli alam bebas, yakni hewan liar seperti ular. Langkah kami sempat terhenti mendadak, ketika dari sebuah rumpun bambu tiba-tiba melesat seekor ular sepanjang 1 meter berwarna coklat tua. Hewan melata itu memotong lintasan kira-kira 1,5 meter di depan kami, sebelum masuk ke semak di seberang.
Berjalan menyusuri pematang sawah yang luas, menapaki terasering, menuju dusun yang belum diketahui posisinya, bisa menyebakan kehilangan titik tujuan. Untunglah kami banyak berjumpa bapak-bapak tani yang dengan senang hati menunjukan arah.
Dusun Cibingbin kami temukan setelah menuntaskan sebuah tanjakan yang lumayan tinggi. Lagi-lagi, sebelum tanjakan ini kami menyeberangi kali yang amat jernih. Saya sempat membasuh muka menyegarkan diri.
Dari dusun ini, rute kedua menuju Gunung Pancar diawali lagi-lagi dengan menyusuri sawah-sawah luas di seberang sungai lebar berarus cukup deras. Tak ada jembatan, jadi kami mesti meniti batu-batu dan terjun ke sungai untuk sampai ke persawahan.
Perjalanan melintasi persawahan lumayan sulit karena pematang yang berlumpur bekas hujan deras. Dalam kondisi seperti ini baru terasa manfaat megenakan sepatu khusus mendaki yang bergerigi pada alasnya. Sebab, kalau hanya memakai sepatu sport biasa, seperti kami kenakan saat itu, resiko tergelincir cukup tinggi. Apa boleh buat, kondisi itu membuat kecepatan kami jauh berkurang. Tenaga pun lumayan terkuras.
Tetapi keadaan tak seburuk yang anda bayangkan. Karena berdiri di keluasan sawah, memandang ke depan, nun jauh di sana terlihat panorama yang mempesona. Dua buah bukit berwarna hijau karena kerimbunan vegetasi, tegak berdiri seperti mengundang para penyuka olahraga trekking. Lembah diantara kedua bukit itulah yang menjadi titik akhir perjalanan kami. Itu berarti kami harus mencadangkan kekuatan untuk melakukan pendakian.
Pendakian dimulai persis diujung area persawahan yang berbatasan dengan kaki bukit. Mula-mula jalan setapak masih cukup terlihat jelas, tapi kian lama kerimbunan semak setinggi manusia dan tetumbuhan lain bagai menutup lintasan. Tak apa, karena sebenarnya jalurnya masih terlihat.
Satu-satu kami melangkah, dan bergantian memimpin di depan. Saya selalu mengingat pesan Pak Tani yang kami temui sebelum pendakian, agar selalu setia pada jalur. “Karena kalau tidak nanti bisa tersesat di hutan,” kata dia. Sesekali memang terdapat percabangan, atau jalur terpotong kali, yang membuat kami berdiskusi menentukan arah yang mesti diambil.
Bagaimana dengan GPS atau fasilitas peta pada browser internet di telepon genggam? Kami tak bisa sepenuhnya mengandalkan teknologi buatan manusia itu, karena kadang sinyal tak mampir di tempat ini. Tetapi bukankah hal itu justru membuat perjalanan menjadi menarik? Kami kembali bisa menggunakan logika dan insting, peralatan anugerah Tuhan, yang sudah otomatis tertanam, di setiap individu.
Ketika semak dan ilalang yang rapat mulai berganti dengan pohon pinus, saya sedikit lega. Ini berarti titik finish sudah tak jauh lagi. Memang sudah cukup tinggi pendakian sejak dari sawah tadi. Kami istirahat sejenak, dan berbalik memandang jauh ke seberang. Terlihat sawah dan dusun yang kami sambangi beberapa saat lalu di bawah sana. Dan, oh, agak lebih jauh lagi terlihat curug Bidadari dengan air terjunnya yang bagai tirai uap menari-nari. Sungguh, ini bagai lukisan-lukisan bergaya mooi-indie jaman dulu.
Tetapi kami tak bisa berlama-lama. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, dan kami tak ingin kesulitan mencari jalur diantara semak belukar. Dengan tenaga tersisa, kami menempuh tanjakan terakhir untuk sampai ke batas hutan Pinus yang menjadi lokasi wisata alam Gunung Pancar, di desa Karang Tengah, Babakan Madang, Citeureup. Saat itu, masih tersisa cahaya matahari menerpa pucuk-pucuk pinus, mengiringi langkah kami.
Berjalan selama lebih dari setengah hari, menempuh belasan kilometer, dan kembali bertegur sapa dengan alam bebas, sungguh cara yang berarti untuk mengimbangi hari-hari sibuk di kota besar. Alam bebas seperti rute terbaik bagi individu untuk menjadi dirinya sendiri.
Tulus Wijanarko