TEMPO.CO, Yogyakarta - Di atas lembar undangan berwarna dasar kuning kehijauan, sebuah nama yang tertulis “Sri Sultan Hamengku Buwono X” tersemat dengan tinta biru. Tulisannya sekilas sederhana. Namun ada tebal tipis garis pada bagian sisi setiap huruf yang tampak kentara.
Hal itu membedakannya dengan tulisan-tulisan lain dalam kertas undangan upacara Jumeneng Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Paku Alam X pada 7 Januari 2015. Sebab, itu satu-satunya tulisan biru pada kertas undangan yang ditulis dengan tangan.
“Saya tawarkan untuk pakai komputer. Tapi ditolak,” kata Iskandar, penulis nama pada 1.160 lembar undangan jumenengan tersebut, saat ditemui di gedung SMA 1 Negeri Yogyakarta, Selasa, 5 Januari 2016.
Pria 59 tahun yang sehari-hari menjadi guru seni kaligrafi di SMA 1 Negeri Yogyakarta tersebut mendapatkan permintaan menulis nama-nama para undangan sejak sebulan lalu. Selain berlatar belakang seni, Iskandar ditunjuk ketua panitia yang mengurusi undangan, Kanjeng Mas Tumenggung Tirtodiprodjo, karena kakek dua cucu itu biasa menulis nama-nama muridnya pada ijazah kelulusan sekolah.
Namun, lantaran nama-nama undangan acara tersebut orang-orang penting, mulai raja-raja sejumlah kerajaan, Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, sejumlah menteri, hingga duta besar, risiko salah cukup besar bila ditulis tangan. Salah satu solusinya adalah ditulis melalui program komputer. “Kata Pak Tirto, dalam jumenengan, nama raja-raja dikehendaki ditulis pakai tulisan tangan. Itu bentuk penghargaan,” ucap Iskandar.
Ada lima contoh bentuk tulisan tangan yang diajukan. Namun yang disetujui adalah tulisan tangan bentuk kaligrafi. Sebab, tebal tipis hurufnya lebih memperjelas bahwa tulisan tersebut adalah tulisan tangan.
Iskandar hanya membutuhkan waktu sepekan untuk menulis nama sebanyak 1.160 lembar. Itu pun masih ada sekitar 200 undangan susulan khusus kawasan Yogyakarta yang tengah ditunggu daftar namanya. Dia telah menghabiskan pena kaligrafi warna biru sebanyak dua buah.
Dia mengandalkan mood untuk bisa berkonsentrasi dengan baik. “Kalau mood-nya jelek dan dipaksa menulis, banyak salahnya dan tulisan lambat,” ujar Iskandar, yang sempat memeragakan menulis nama dengan huruf kaligrafi di depan wartawan.
Untuk meletakkan awal huruf guna memastikan tulisan nama tepat berada di tengah, Iskandar mengandalkan perasaan. Dan untungnya, disediakan lembaran undangan cadangan untuk mengantisipasi bila ada tulisan yang salah.
“Menulis jadi lancar, karena tidak dihantui kesalahan,” tutur Iskandar, yang menjadi murid almarhum pematung patung “Selamat Datang”, Edhi Sunarso, di Jurusan Kriya Akademi Seni Rupa Indonesia pada 1975-1976.
Sementara itu, Tirtodiprodjo menjelaskan, penggunaan tulisan tangan untuk menulis nama-nama undangan merupakan salah satu kekhasan dalam persiapan prosesi jumenengan tersebut. “Nama orang yang ditulis tangan menjadi terhormat. Tulisan tangan pun menjadi berharga,” kata Tirtodiprodjo.
PITO AGUSTIN RUDIANA